Oleh Budi Nur Salekhah | Mahasiswa Semester III Prodi Komunikasi dan Penyiaran Islam, STAI Al-Fatah
Cinta dan rasa adalah bagian tak terpisahkan dari fitrah manusia. Namun, dalam konteks spiritualitas Islam, cinta memiliki batas dan nilai moral yang menuntun manusia agar tetap berada dalam koridor kehormatan dan ketulusan. Perempuan yang berusaha menjaga dirinya dari godaan perasaan bukan berarti menolak cinta, melainkan sedang belajar menempatkannya pada posisi yang benar di bawah bimbingan iman.
Tulisan ini menggambarkan kisah seorang perempuan muda berusia dua puluh tahun yang selama enam tahun menahan rasa terhadap seseorang, tujuh tahun berbenah diri, dan akhirnya diuji oleh perjalanan hati yang mengembalikannya kepada kesadaran terdalam: bahwa menjaga diri bukan hanya tentang menjauh, tetapi tentang memahami makna menjadi suci di tengah dunia yang bising.
Tahap Pertama: Menahan Rasa dan Menyadari Nilai Kesucian
Dalam enam tahun menahan perasaan terhadap seseorang yang terus menjalin hubungan dengan teman-teman dekatnya, subjek belajar tentang pengendalian diri (self-restraint). Ia menyadari bahwa cinta yang tidak terarah dapat melukai harga diri dan keikhlasan hati.
Dalam perspektif psikologi Islam, kondisi ini dapat dikaitkan dengan konsep mujahadah an-nafs perjuangan melawan hawa nafsu. Ibn Qayyim al-Jauziyyah menegaskan bahwa “jiwa tidak akan suci kecuali dengan menolak hal-hal yang diinginkannya tetapi tidak dibenarkan oleh syariat.” Maka, keputusan untuk diam, menahan, dan memilih jalan sepi bukan bentuk kelemahan, melainkan kekuatan spiritual.
Tahap Kedua: Pembenahan Diri dan Harapan yang Teruji
Selama tujuh tahun subjek menutup diri dari cinta, ia fokus memperbaiki akhlak dan menjaga kehormatan. Ia berusaha menjadi wanita yang “terjaga agar kelak mendapatkan lelaki yang juga terjaga.” Namun, ujian datang dari arah yang tak disangka: sebuah perjodohan yang berakhir tanpa kejelasan.
Kegagalan itu bukan sekadar patah hati, tetapi ujian eksistensial yang mengguncang keyakinan dirinya. Ia menaruh harap, mempersiapkan diri untuk menjadi istri dan ibu, namun akhirnya dihadapkan pada kenyataan bahwa kesungguhan belum tentu berbalas dengan ketetapan takdir.
Dalam kerangka teologis, pengalaman ini merepresentasikan prinsip al-qadha wal-qadar (ketentuan Allah). Bahwa manusia hanya bisa berencana, tetapi keputusan tertinggi tetap milik Allah. Dari sini, muncul kesadaran bahwa cinta sejati tidak sekadar menemukan seseorang, melainkan menemukan Allah di setiap kehilangan.
Tahap Ketiga: Jatuh dan Kesadaran Baru
Beberapa waktu kemudian, datang seorang pria yang sungguh-sungguh berniat menikahinya. Ia bahkan menempuh perjalanan jauh hanya untuk bertemu, namun subjek menolak, bukan karena benci, melainkan karena takut mengulangi luka. Penolakan itu menimbulkan rasa bersalah, tetapi juga menunjukkan keteguhan hati yang berhati-hati.
Namun ujian berikutnya datang dengan lebih lembut: ia bertemu seseorang yang membuatnya berbicara kembali, membuka diri, dan bahkan menjalin hubungan yang ia tahu berisiko. Ia merasakan kembali manis pahitnya keterikatan emosional, lalu sadar bahwa ia telah melanggar prinsip yang dulu ia bangun dengan susah payah.
Rasa menyesal pun tumbuh. Ia merasa kehilangan arah dan harga diri. Namun, dari penyesalan inilah muncul kesadaran baru kesadaran bahwa perjalanan spiritual bukan garis lurus, melainkan jalan berliku dengan luka yang menyadarkan.
Tahap Keempat: Kembali Menjadi yang Terjaga
Kini, subjek memilih untuk kembali kepada prinsip awalnya: menjadi perempuan yang terjaga. Ia rindu pada dirinya yang dahulu takut berpapasan dengan laki-laki, takut pada godaan, dan menjaga pandangan serta perasaan. Ia tahu perjalanan kembali itu tidak mudah, tetapi ia juga tahu bahwa Allah tidak menolak hamba yang ingin kembali.
Sebagaimana firman Allah:
إِلَّا مَنْ تَابَ وَآمَنَ وَعَمِلَ عَمَلًا صَالِحًا فَأُولَٰئِكَ يُبَدِّلُ اللَّهُ سَيِّئَاتِهِمْ حَسَنَاتٍ
“Kecuali orang yang bertobat, beriman, dan mengerjakan amal saleh, maka Allah akan mengganti kejahatan mereka dengan kebaikan.” (QS. Al-Furqan: 70)
Ayat ini menjadi fondasi harapan bahwa setiap langkah kembali adalah bagian dari perjalanan menuju kesempurnaan iman.
Kesimpulan
Perjalanan hidup perempuan ini bukan kisah cinta biasa, melainkan kisah tentang pendewasaan spiritual. Ia mengajarkan bahwa menjaga diri bukan berarti menolak cinta, tetapi menempatkannya di bawah bimbingan iman. Bahwa kehilangan tidak selalu berarti gagal, melainkan cara Allah mengajarkan agar kita hanya berharap kepada-Nya.
Kembali menjadi wanita yang terjaga bukan langkah mundur, melainkan langkah pulang, pulang ke prinsip, ke hati yang bersih, dan ke Tuhan yang Maha Menyembuhkan.
