Oleh Bahron Ansori | Pemerhati masalah sosial agama, menetap di Majalengka
TIDAK tanggung-tanggung, setiap
urusan manusia diatur oleh Islam, sampai perkara yang kita anggap sepele pun
Islam ada cara Islam di sana untuk menjadi pedoman, apalagi dalam perkara yang
besar. Ini sebagai bukti bahwa Allah Maha Mencintai hamba-Nya, karena aturan
Allah berarti kasih sayang Allah. Jika patuh, cinta Allah akan tercurah dan
jika membangkang, murka Allah akan didapat. Untuk menjadi seorang pemenang
sejati, setidaknya ada beberapa hal yang harus dilakukan seorang muslim, antara
lain sebagai berikut.
Pertama, tinggalkan
yang sia-sia. Dalam kaca mata dunia saja, yang
sia-sia itu akan mengantarkan kepada kerugian. Ketika yang lain asyik menyimak
guru, si A malah enjoy dengan lamunan dan khayalannya. Maka, 100 persen si
A tidak akan mendapatkan ilmu yang disampaikan guru. Alhasil, ya… ketika guru
memberikan soal latihan, ia sibuk tanya sini tanya sana, tengok kiri tengok
kanan, padahal soalnya mudah banget. Jadi ngerepotin temen di
sebelahnya.
Banyak dalil mengajarkan agar kita
meninggalkan hal-hal yang sia-sia, satu di antaranya sabda Nabi Shallallahu
‘Alaihi Wasallam. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda, “Di antara kebaikan islam seseorang adalah meninggalkan
hal yang tidak bermanfaat” (HR. Tirmidzi no. 2317, Ibnu
Majah no. 3976. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih).
Kedua, jangan
menunda-nunda waktu. Hari ini, ya… hari ini. Esok,
ya… esok. Pemanfaatan waktu yang efektif akan membuahkan kemenangan dalam
kompetisi merebutkan “piala”. Dalam kamus sang pemenang, tidak akan ditemukan
waktu luang. Guliran waktu selalu penuh dengan hal-hal positif. Mereka memiliki
keyakinan tinggi, bahwa hidup itu bukan kemarin bukan juga esok hari. Hidup itu
hari ini, detik ini. Kalau hari ini, detik ini, tidak dimanfaatkan, berarti ia
tidak “hidup”.
So… mari kita gunakan waktu secara optimal guna menepi
di puncak harapan. Pepatah mengatakan, “waktu itu bagaikan pedang”. Jika waktu tidak dikuasai, maka ia akan menyabit
leher kita alias kita akan terjun ke lembah kerugian. Kuasai waktu, manfaatkan
untuk hal positif, dan azamkan bahwa kita akan meraup keberhasilan dengan tidak
menyisakan waktu luang.
Ketiga, profesional dalam melaksakan aktivitas. Profesionalitas yang tinggi akan menjadi salah satu
penunjang untuk muncul sebagai pemenang yang akan sampai di garis finish di
sirkuit kehidupan, sehingga kita akan berdiri di podium dan mengangkat tropi
kemenangan sambil sumringah tersenyum. Rasulullah mewanti-wanti, “Jika suatu urusan diserahkan bukan pada ahlinya,
tunggulah kehancurannya.”
Kehancuran tersebut bisa datang
kapan saja andaikata kita lengah dengan sikap profesional di setiap aksi. Bisa
berupa nilai jeblok andai ia seorang pelajar, hengkangnya rekan bisnis kalau ia
seorang businessman, perginya pelanggan jika ia seorang pedagang, menjauhnya
teman dekat, dihinakan masyarakat jika ia seorang pemabuk, dll..
Profesionalitas yang ditunjukkan seseorang membuktikan kedewasaan dan gesag
yang dimilikinya. Sehingga orang akan menghargai dan tidak menyepelekannya.
Keempat, setiap perbuatan selalu ada ganjaran setimpal. Allah Subhanahu Wa Ta’ala memberikan wejangan bahwa,
setiap hal yang kita perbuat akan berbalaskan ganjaran setimpal. Amal baik
ganjarannya baik. Amal buruk ganjarannya buruk. Faman ya’mal mitsqala dzarratin khairan yarahu, waman
ya’mal mitsqala dzarratin syarran yarahu. Maka siapa saja yang mengerjakan kebaikan sebesar
dzarrah (molekul terkecil) pun, ia akan melihat ganjarannya (surga); dan siapa
saja yang mengerjakan amal kejelekan sebesar dzarrah pun, ia akan melihat
ganjarannya (neraka).” (Qs. Al Zalzalah: 7-8).
Kelima, sikap hati-hati dalam hidup akan menguncupkan buah yang
matang nan manis. Sikap hati-hati bisa juga
dikatakan sebagai sikap takwa. Umar bin Khattab pernah bertanya kepada Ubay bin
Ka’ab (sekrertaris wahyu Rasulullah) mengenai arti takwa. Ubay menjawab, “Pernahkah engkau menyusuri jalan yang penuh dengan duri
dan kerikil tajam?” “Ya, pernah.” jawab
Umar. Ubay membalas, “Apa yang
kau lakukan saat itu?”
Sontak Umar menjawab, “Saya hati-hati memilih jalan.” “Nah, itulah takwa.” jawab Ubay lugas. Yup… berhati-hatilah dalam melangkah
karena takut dosa, berhati-hatilah dalam beribadah karena takut salah,
berhati-hatilah dalam mengonsumsi makanan karena takut haram, dan
berhati-hatilah dalam berbicara karena takut menyinggung.
Keenam, selalu hidup jujur. Jujur dalam berbicara dan jujur dalam beramal. Sikap
jujur akan membawa kita menuju al-birr (kebaikan) dan kebaikan akan membawa kita
menuju al-jannah (surga). Ketika seseorang sudah berani berbicara tidak jujur,
minimal madaratnya akan dirasakan di dalam hatinya. Ia tidak tenang berhadapan
dengan orang yang dibodohinya, karena takut ketahuan. Ketika seseorang sudah
biasa dengan sikap tidak jujur, maka madaratnya akan ia rasakan
dunia-akhirat. So… jujur adalah mata uang yan berlaku di mana-mana.
Dusta adalah mata uang palsu yang tidak berlaku di seluruh dunia. Mengedarkan
“mata uang palsu” akan dijebloskan ke dalam “sel” oleh Allah Subhanahu Wa
Ta’ala.
Ketujuh, berprasangka buruk
bukanlah solusi hidup yang benar. Ari Ginanjar Agustian dalam ESQ-nya mengisahkan
seorang karyawan yang tiba-tiba menguap di tengah seriusnya rapat staff.
Sontak, peserta rapat melihatkan muka yang masam kepada karyawan tersebut. Pun
dengan pimpinan rapat. Ia menegurnya dengan emosional. Ia menyalahkan sikap
karyawan tersebut yang seolah tidak menganggap serius rapat yang sedang
berlangsung.
Tetapi karyawan tersebut tidak
tinggal diam, ia membela dirinya dan mengatakan bahwa semalaman ia tidak tidur
karena anaknya sedang di rawat di rumah sakit. Untuk menghadiri rapat pun ia
harus meninggalkan anaknya yang tengah merasakan sakit yang secara psikologis
memerlukan motivasi untuk sembuh terutama dari ayah dan ibunya. Merahlah muka
si pimpinan rapat tersebut karena telah berburuk sangka. Berprasangka sama saja
dengan memakan daging mayat saudara kita walaupun prasangka itu tepat sasaran
(lihat Qs. Al-Hujuraat: 12).
Nah, bagi kita yang mendambakan keberhasilan dalam setiap
aktivitas, baik hablun
minallah (hubungan dengan Allah)
maupun hablun minannas (hubungan dengan sesama), milikilah di dalam diri
dan sikap kita ketujuh hal yang telah disebutkan di atas. Insya Allah, harapan
yang kita rencanakan akan berwujud menjadi kenyataan, wallahua’lam.(mina)