Minyak Sawit : Antara Keuntungan Global, Kedaulatan, dan Kelestarian Hutan

Foto Udara Hutan Mangrove di Jambi jadi Kebun Sawit (Foto: ANTARA FOTO/Wahdi Septiawan)

BASHIRAHNEWS.COM, BOGOR - Minyak kelapa sawit adalah minyak yang paling banyak dikonsumsi. Murah, efisien, dan serbaguna, menjadikannya 'juara' di dunia minyak nabati dan mudah ditemukan dalam hampir separuh produk supermarket global.

Namun, di balik manfaat ekonominya yang luas, ekspansi masif perkebunan kelapa sawit telah menjadi pendorong utama deforestasi tropis dan isu lingkungan yang kompleks, terutama di Asia Tenggara.

Sawit: Mesin Ekonomi yang Paling Produktif

Minyak sawit dicari secara global karena produktivitasnya yang tak tertandingi. Setelah introduksi kumbang penyerbuk Elaeidobius kamerunicus pada 1980-an, produksi minyak sawit per hektar melonjak drastis, menjadikannya lebih efisien dan murah dibandingkan minyak kedelai atau bunga matahari.

Keunggulan ini menjadikannya primadona yang ditemukan dalam hampir separuh produk konsumen, mulai dari makanan hingga kosmetik. Bagi Indonesia, kelapa sawit adalah pilar ekonomi yang menciptakan jutaan lapangan kerja dan menopang pembangunan.

Bayangan Kontroversi: Mengapa Sawit Menjadi Sasaran Kritik

Meskipun bernilai ekonomi tinggi, ekspansi perkebunan kelapa sawit di wilayah tropis telah memicu kontroversi serius yang mengaitkannya dengan masalah lingkungan. 

Pohon kelapa sawit tumbuh paling optimal di wilayah khatulistiwa, sehingga ekspansi perkebunan sering dilakukan dengan mengorbankan hutan alami yang kaya keanekaragaman hayati.

1. Pendorong utama diforeatasi

  • Penyebab Kehilangan Hutan: Ekspansi kelapa sawit menjadi pendorong utama kehilangan hutan di kawasan Asia Tenggara, khususnya di Pulau Kalimantan (Indonesia dan Malaysia).
  • Alih Fungsi Lahan: Studi di Malaysia menunjukkan bahwa antara tahun 1973 hingga 2015, sekitar 60 persen hutan hujan yang hilang dialihfungsikan menjadi perkebunan kelapa sawit.
2. Pelepasan Karbon dari Lahan Gambut

Ekspansi ini tidak hanya merusak hutan, tetapi juga berdampak pada wilayah rawa gambut—tempat penyimpanan karbon dalam jumlah besar. Ketika lahan gambut dikeringkan untuk membuka perkebunan, karbon yang tersimpan terlepas ke atmosfer sebagai karbon dioksida, yang secara langsung memperburuk perubahan iklim.

3. Ancaman Pembunuhan Satwa Liar Ikonik

Ketika hutan diubah menjadi kebun sawit, hewan-hewan seperti Orangutan, Gajah Sumatra, dan Badak Sumatra kehilangan rumah mereka. Area yang dulunya hutan rimba, kini jadi ladang terbuka.

Hal ini menyebabkan hewan yang kelaparan terpaksa masuk ke kebun sawit. Akhirnya, mereka dianggap hama dan seringkali dibunuh atau diburu. Singkatnya, keanekaragaman hayati kita turun drastis.

Solusi: Sawit Harus Ramah Lingkungan

Dilema bagi negara produsen adalah bagaimana memenuhi permintaan global dan mempertahankan pertumbuhan ekonomi, sambil menjawab kritik lingkungan dan memenuhi komitmen iklim.

  • Sertifikasi Berkelanjutan: Solusi yang terus didorong adalah praktik Sawit Berkelanjutan. Standar seperti RSPO (Roundtable on Sustainable Palm Oil) dan standar nasional seperti ISPO (Indonesian Sustainable Palm Oil) diciptakan untuk memastikan produksi tidak merusak hutan, menghormati hak masyarakat lokal, dan menghindari pembukaan lahan gambut.
  • Peningkatan Produktivitas: Langkah strategis termasuk memfokuskan peningkatan hasil panen pada lahan yang sudah ada (intensifikasi) daripada terus memperluas area perkebunan (ekstensifikasi). 

Minyak sawit adalah isu yang menuntut kolaborasi global, mulai dari produsen, pemerintah, hingga konsumen. Keberlanjutan sawit bukan hanya tentang lingkungan, tetapi juga tentang memastikan keberlanjutan ekonomi dan kedaulatan negara produsen di masa depan.

Lebih baru Lebih lama