ISLAM tanpa dakwah? Mustahil rasanya. Karena dakwahlah Islam berkembang. Karena dakwah juga umat ini menjadi mulia. Secara bahasa, dakwah adalah berasal dari bahasa Arab: دعوة, da'wah; "ajakan", adalah kegiatan yang bersifat menyeru, mengajak dan memanggil orang untuk beriman dan taat kepada Allah sesuai dengan garis akidah, syariat dan akhlak Islam. Kata dakwah merupakan masdar (kata benda) dari kata kerja da'a yad'u yang berarti panggilan, seruan atau ajakan.
Dakwah sangat diperlukan untuk
menyebarkan syariat Islam ini. Karena itu, dakwah menjadi sebuah kewajiban yang
harus dilakukan setiap muslim. Tanpa dakwah, maka Islam ini tidak akan tersebar
luas ke belahan bumi. Tanpa dakwah, maka rahmatnya Islam tidak akan dirasakan
oleh penduduk dunia yang masih hidup dalam kegelapan (dzulumat).
Namun, dalam kenyataannya, tidak setiap
muslim bisa melakukan dakwah. Jika pun ia bisa melakukannya, maka tak jarang ia
tertusuk duri-duri dalam berdakwah. Karena itu, salah satu kunci keberhasilan
dalam dakwah adalah menyampaikan kebenaran dengan penuh kesabaran. Sebaliknya,
jika duri-duri itu sudah menusuk kaki, maka ia akan jatuh dan terhempas dari
jalan dakwah.
Secara tegas, Allah Ta’ala menyebutkan
dalam firman-Nya tentang beberapa hal yang bisa menjadi duri dalam dakwah. Allah
Subhanahu Wa
Ta’ala berfirman :
وَكَأَيِّنْ مِنْ نَبِيٍّ قَاتَلَ مَعَهُ رِبِّيُّونَ كَثِيرٌ فَمَا وَهَنُوا لِمَا أَصَابَهُمْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَمَا ضَعُفُوا وَمَا
اسْتَكَانُوا وَاللَّهُ يُحِبُّ الصَّابِرِينَ
“Dan berapa banyaknya nabi yang berperang bersama-sama mereka sejumlah besar dari pengikut(nya) yang bertakwa. Mereka tidak menjadi lemah karena bencana yang menimpa mereka di jalan Allah, dan tidak lesu dan tidak (pula) menyerah (kepada musuh). Allah menyukai orang-orang yang sabar.” (Qs. Ali Imran: 164)
Di dalam ayat di
atas setidaknya memberikan pelajaran dalam sebuah perjuangan (dakwah). Dalam berjuang, para
rasul dan para pengikutnya, tidak pernah berputus asa, menjadi lemah ataupun
berhenti dalam dakwah atas cobaan yang menimpah mereka.
Di dalam ayat ini ada 3 sifat yang menjadi duri di jalan dakwah, sifat yang
mesti diwaspadai oleh para dai penyeru kebenaran sehingga mereka tidak terjatuh
di jalan dakwah.
Sifat pertama adalah: sifat WAHN (Famaa wahanu).
Sifat wahn dapat
diartikan seperti dalam sebuah hadist ketika para sahabat bertanya kepada
Rosulullah tentang sebuah penyakit wahn: “Wama al-wahn ya Rosulallah?”
Rasulullah menjawab :”Hubbuddunya wa karohiyatul maut”.
Wahn adalah sifat cinta dunia dan takut mati. Sifat wahn banyak membuat
para penyeruh dakwah berguguran, boleh jadi karena tidak kuat atas siksaan,
ataupun godaan dunia yang melenahkan. Seorang yang telah memasuki arena dakwah
dalam pertarungan hak dan kebatilan akan dihadapkan dengan hal ini. Sekali lagi
sejarah telah menceritakan itu.
Bukankah Rasulullah juga ditawari harta yang bergelimang? Tawaran untuk
menjadi penguasa di jazirah arab? Serta dijanjikan wanita Arab yang paling
mempesona (ajmalu nisail ‘arob)? Asalkan Rasul meninggalkan dakwahnya. Namun
jawaban yang Rasulullah katakan: “Kalaupun sekiranya mereka meletakkan matahari
ditangan kananku dan rembulan ditangan kiriku niscaya aku tidak akan
meninggalkan dakwah ini”.
Sifat kedua adalah: (Wama
dho’ufu) atau sifat
DHO’F yaitu
sifat lemah.
Tentulah sebuah keharusan ketika sebuah kebenaran berteriak lantang dan
mulai menyadarkan kebisuan dan keterlenaan banyak orang, dakwah akan berhadapan
dengan sebuah kekuatan yang akan menghadangnya. Begitulah ketika Fir’aun
menghadang dakwah nabi Musa, begitulah ketika Abu Jahal dan Abu Lahab
menghalang-halangi dakwah Rosulullah. Begitulah Gamal Abdul Naser menghalangi
dakwah Al-Banna dan Ikhwan. Namun mereka tidak pernah merasa lemah atas apa
yang menimpa mereka. Inilah pelajaran penting dari dakwah bahwa sifat tsabat adalah
sebuah keharusan yang harus dimiliki bagi pengembannya.
Sifat ketiga adalah:
(Wamastakanu) adalah sifat
ISTIKAN, yaitu sifat
berdiam diri.
Wamastkaanu: Mereka tidak pernah berdiam diri, para dai terus bergerak di
tengah kesulitan dan cobaan. Seorang dai sejati tidak pernah menunggu panggilan
untuk berdakwah. Bagaimana mungkin ia akan bisa berdiam sedangkan kemungkaran
berada di sekelilingnya. Ketika dakwah belum juga menampakkan hasilnya, maka
tidaklah membuat dai kemudian berdiam diri, karena yang dituntut darinya
bukanlah hasil. Namun yang dipinta darinya hanyalah amal, sedangkan hasil
adalah urusan Allah semata.
Ketiga hal di atas : Wahn,
dho’f dan
istikan hendaklah
mesti dihindari dan dibuang jauh-jauh dari kamus para dai. Maka, untuk menjaga
kualitas ruhiyah agar tetap tsabat
(keteguhan hati) para pejuang dakwah hendaklah
tidak bosan-bosan untuk mengulang-ulang sebuah doa yang juga diucapkan oleh
para nabi dan pengikutnya, dalam ayat selanjutnya, ayat 147 disebutkan : Robbanaa ighfir lana dzunubanaa
wa isrofanaa fii amrinaa wa tsabbit aqdaamanaa wanshurna ‘alal qoumil kafiriin”.
Artinya: Wahai Tuhan kami, ampunilah dosa-dosa kami, dan sikap berlebihan kami
dalam urusan kami, kuatkanlah langkah kaki kami, dan tolonglah kami atas orang-orang
yang kafir”.
Semoga Allah senantiasa membimbing setiap langkah
kita dalam mendakwahkan dienul haq (Islam) ini, wallahua’lam.[BA]