Duri-duri Dakwah (Tadabbur Qs. Ali Imran : 146)



ISLAM tanpa dakwah? Mustahil rasanya. Karena dakwahlah Islam berkembang. Karena dakwah juga umat ini menjadi mulia. Secara bahasa, dakwah adalah berasal dari bahasa Arab: دعوة, da'wah; "ajakan", adalah kegiatan yang bersifat menyeru, mengajak dan memanggil orang untuk beriman dan taat kepada Allah sesuai dengan garis akidah, syariat dan akhlak Islam. Kata dakwah merupakan masdar (kata benda) dari kata kerja da'a yad'u yang berarti panggilan, seruan atau ajakan.


Dakwah sangat diperlukan untuk menyebarkan syariat Islam ini. Karena itu, dakwah menjadi sebuah kewajiban yang harus dilakukan setiap muslim. Tanpa dakwah, maka Islam ini tidak akan tersebar luas ke belahan bumi. Tanpa dakwah, maka rahmatnya Islam tidak akan dirasakan oleh penduduk dunia yang masih hidup dalam kegelapan (dzulumat).


Namun, dalam kenyataannya, tidak setiap muslim bisa melakukan dakwah. Jika pun ia bisa melakukannya, maka tak jarang ia tertusuk duri-duri dalam berdakwah. Karena itu, salah satu kunci keberhasilan dalam dakwah adalah menyampaikan kebenaran dengan penuh kesabaran. Sebaliknya, jika duri-duri itu sudah menusuk kaki, maka ia akan jatuh dan terhempas dari jalan dakwah.


Secara tegas, Allah Ta’ala menyebutkan dalam firman-Nya tentang beberapa hal yang bisa menjadi duri dalam dakwah. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman :

وَكَأَيِّنْ مِنْ نَبِيٍّ قَاتَلَ مَعَهُ رِبِّيُّونَ كَثِيرٌ فَمَا وَهَنُوا لِمَا أَصَابَهُمْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَمَا ضَعُفُوا وَمَا اسْتَكَانُوا وَاللَّهُ يُحِبُّ الصَّابِرِينَ

“Dan berapa banyaknya nabi yang berperang bersama-sama mereka sejumlah besar dari pengikut(nya) yang bertakwa. Mereka tidak menjadi lemah karena bencana yang menimpa mereka di jalan Allah, dan tidak lesu dan tidak (pula) menyerah (kepada musuh). Allah menyukai orang-orang yang sabar.” (Qs. Ali Imran: 164)


Di dalam ayat di atas setidaknya memberikan pelajaran dalam sebuah perjuangan (dakwah). Dalam berjuang, para rasul dan para pengikutnya, tidak pernah berputus asa, menjadi lemah ataupun berhenti dalam dakwah atas cobaan yang menimpah mereka.


Di dalam ayat ini ada 3 sifat yang menjadi duri di jalan dakwah, sifat yang mesti diwaspadai oleh para dai penyeru kebenaran sehingga mereka tidak terjatuh di jalan dakwah.


Sifat pertama adalah: sifat WAHN  (Famaa wahanu).


Sifat wahn dapat diartikan seperti dalam sebuah hadist ketika para sahabat bertanya kepada Rosulullah tentang sebuah penyakit wahn: “Wama al-wahn ya Rosulallah?” Rasulullah menjawab :”Hubbuddunya wa karohiyatul maut”.


Wahn adalah sifat cinta dunia dan takut mati. Sifat wahn banyak membuat para penyeruh dakwah berguguran, boleh jadi karena tidak kuat atas siksaan, ataupun godaan dunia yang melenahkan. Seorang yang telah memasuki arena dakwah dalam pertarungan hak dan kebatilan akan dihadapkan dengan hal ini. Sekali lagi sejarah telah menceritakan itu.


Bukankah Rasulullah juga ditawari harta yang bergelimang? Tawaran untuk menjadi penguasa di jazirah arab? Serta dijanjikan wanita Arab yang paling mempesona (ajmalu nisail ‘arob)? Asalkan Rasul meninggalkan dakwahnya. Namun jawaban yang Rasulullah katakan: “Kalaupun sekiranya mereka meletakkan matahari ditangan kananku dan rembulan ditangan kiriku niscaya aku tidak akan meninggalkan dakwah ini”.


Sifat kedua adalah: (Wama dho’ufu) atau sifat DHO’F  yaitu sifat lemah.


Tentulah sebuah keharusan ketika sebuah kebenaran berteriak lantang dan mulai menyadarkan kebisuan dan keterlenaan banyak orang, dakwah akan berhadapan dengan sebuah kekuatan yang akan menghadangnya. Begitulah ketika Fir’aun menghadang dakwah nabi Musa, begitulah ketika Abu Jahal dan Abu Lahab menghalang-halangi dakwah Rosulullah. Begitulah Gamal Abdul Naser menghalangi dakwah Al-Banna dan Ikhwan. Namun mereka tidak pernah merasa lemah atas apa yang menimpa mereka. Inilah pelajaran penting dari dakwah bahwa sifat tsabat adalah sebuah keharusan yang harus dimiliki bagi pengembannya.


Sifat ketiga adalah: (Wamastakanu) adalah sifat ISTIKAN, yaitu sifat berdiam diri.


Wamastkaanu: Mereka tidak pernah berdiam diri, para dai terus bergerak di tengah kesulitan dan cobaan. Seorang dai sejati tidak pernah menunggu panggilan untuk berdakwah. Bagaimana mungkin ia akan bisa berdiam sedangkan kemungkaran berada di sekelilingnya. Ketika dakwah belum juga menampakkan hasilnya, maka tidaklah membuat dai kemudian berdiam diri, karena yang dituntut darinya bukanlah hasil. Namun yang dipinta darinya hanyalah amal, sedangkan hasil adalah urusan Allah semata.


Ketiga hal di atas : Wahn, dho’f dan istikan hendaklah mesti dihindari dan dibuang jauh-jauh dari kamus para dai. Maka, untuk menjaga kualitas ruhiyah agar tetap tsabat (keteguhan hati) para pejuang dakwah hendaklah tidak bosan-bosan untuk mengulang-ulang sebuah doa yang juga diucapkan oleh para nabi dan pengikutnya, dalam ayat selanjutnya, ayat 147 disebutkan : Robbanaa ighfir lana dzunubanaa wa isrofanaa fii amrinaa wa tsabbit aqdaamanaa wanshurna ‘alal qoumil kafiriin”. Artinya: Wahai Tuhan kami, ampunilah dosa-dosa kami, dan sikap berlebihan kami dalam urusan kami, kuatkanlah langkah kaki kami, dan tolonglah kami atas orang-orang yang kafir”.


Semoga Allah senantiasa membimbing setiap langkah kita dalam mendakwahkan dienul haq (Islam) ini, wallahua’lam.[BA]

Lebih baru Lebih lama