Oleh Abu Hilya
“Ketika engkau berada di jalur menuju Allah Subhanahu Wa Ta’ala, maka berlarilah.
Jika sulit bagimu, maka berlari kecillah.
Jika kamu lelah, berjalanlah.
Jika kamu tak mampu, merangkaklah.
Namun jangan pernah berbalik arah atau
berhenti.”
(Imam Syafi’i)
Hidup di tengah hiruk pikuknya zaman terkadang membuat kita terasa lelah.
Tapi inilah hidup, kenyataan yang datang tidak pernah bisa dihindari. Bagi
orang beriman, apa pun yang terjadi di dunia ini merupakan bagian dari amal
ibadahnya selama niatnya lurus dan benar. Ujian yang menimpanya, jika ia terima
dengan sabar dan penuh harap kepada Allah semata, maka kesabaran itu lebih baik
baginya. Ia tidak perlu bersedih hati atas semua ujian yang diterimanya. Sebab
itu artinya Allah Subhanahu Wa Ta’ala sedang menunjukkan rasa cinta-Nya kepada
si hamba.
Sebaliknya, bila ia beri kenikmatan, maka sikap terbaik yang harus dimiliki
oleh seorang beriman adalah mensyukuri semua nikmat itu, dan yang demikian itu
lebih baik baginya. Sabar ketika diuji dan syukur ketika diberi kenikmatan
adalah dua sifat yang harus ada dalam diri seorang yang beriman. Sabar dan
syukur adalah dua sifat mulia, di mana sabar dan syukur itu tidak pernah
dimiliki oleh manusia-manusia di luar orang beriman.
Dari Shuhaib bin Sinan ra dia berkata, “Alangkah
mengagumkan keadaan orang yang beriman, karena semua keadaannya (membawa)
kebaikan (untuk dirinya), dan ini hanya ada pada seorang mukmin; jika dia
mendapatkan kesenangan dia akan bersyukur, maka itu adalah kebaikan baginya,
dan jika dia ditimpa kesusahan dia akan bersabar, maka itu adalah kebaikan
baginya.” (HR. Muslim no. 2999).
Hadits yang agung ini menunjukkan besarnya keutamaan bersyukur di saat
senang dan bersabar di saat susah, bahkan kedua sifat inilah yang merupakan
penyempurna keimanan seorang hamba. Abdullah bin Mas’ud berkata: “Iman itu
terbagi menjadi dua bagian; sebagiannya (adalah) sabar dan sebagian (lainnya
adalah) syukur.” [Dinukil oleh imam Ibnul Qayyim dalam kitab “’Uddatush
shaabiriin” (hal. 88).2].
Ibnu Hibban dalam kitabnya Ats-Tsiqoot menyebutkan
kisah keimanan yang menakjubkan dari seorang ahli ibadah. Adalah Abdullah bin
Zaid Al-Jarmi salah seorang ahli ibadah dan ahli zuhud berasal dari Al-Bashroh.
Ia meriwayatkan hadits dari sahabat Anas bin Malik dan sahabat Malik bin
Al-Huwairits –radhiallahu ‘anhuma- . Ia wafat di negeri Syam pada tahun 104
Hijriah pada masa kekuasaan Yazid bin Abdilmalik.
Abdullah bin Muhammad berkata, “Aku keluar menuju tepi pantai dalam rangka
mengawasi (menjaga) kawasan pantai (dari kedatangan musuh), tatkala aku tiba di
tepi pantai tiba-tiba aku telah berada di sebuah dataran lapang di suatu tempat
(di tepi pantai itu) dan di dataran tersebut terdapat sebuah kemah yang di
dalamnya terdapat seseorang yang telah buntung kedua tangan dan kedua kakinya,
dan pendengarannya telah lemah serta matanya telah rabun. Tidak satu anggota
tubuhnyapun yang bermanfaat baginya kecuali lisannya, orang itu berkata, “Ya Allah, tunjukilah aku agar aku bisa
memuji-Mu sehingga aku bisa menunaikan rasa syukurku atas kenikmatan-kenikmatan
yang telah Engkau anugrahkan kepadaku dan Engkau sungguh telah melebihkan aku
di atas kebanyakan makhluk yang telah Engkau ciptakan.”
Abdullah bin Muhammad berkata, “Demi Allah aku akan mendatangi orang ini,
dan aku akan bertanya kepadanya bagaimana ia bisa mengucapkan perkataan ini,
apakah ia faham dan tahu dengan apa yang diucapkannya itu? Ataukah ucapannya
itu merupakan ilham yang diberikan kepadanya?
Maka akupun mendatanginya lalu aku mengucapkan salam kepadanya, lalu
kukatakan kepadanya, “Aku mendengar engkau berkata “Ya Allah, tunjukilah aku
agar aku bisa memuji-Mu sehingga aku bisa menunaikan rasa syukurku atas
kenikmatan-kenikmatan yang telah Engkau anugrahkan kepadaku dan Engkau sungguh
telah melebihkan aku di atas kebanyakan makhluk yang telah Engkau ciptakan,”
maka nikmat manakah yang telah Allah anugrahkan kepadamu sehingga engkau memuji
Allah atas nikmat tersebut? Dan kelebihan apakah yang telah Allah anugerahkan
kepadamu hingga engkau mensyukurinya?”
Orang itu berkata, “Tidakkah engkau melihat apa yang telah dilakukan oleh
Rabku kepadaku? Demi Allah, seandainya Ia mengirim halilintar kepadaku hingga
membakar tubuhku atau memerintahkan gunung-gunung untuk menindihku hingga
menghancurkan tubuhku, atau memerintahkan laut untuk menenggelamkan aku, atau
memerintahkan bumi untuk menelan tubuhku, maka tidaklah hal itu kecuali semakin
membuat aku bersyukur kepada-Nya karena Ia telah memberikan kenikmatan kepadaku
berupa lidah (lisan)ku ini.
Namun wahai hamba Allah, engkau telah mendatangiku, maka aku perlu
bantuanmu, engkau telah melihat kondisiku. Aku tidak mampu untuk membantu
diriku sendiri atau mencegah diriku dari gangguan, aku tidak bisa berbuat
apa-apa. Aku memiliki seorang putra yang selalu melayaniku, di saat tiba waktu
sholat ia mewudhukan aku, jika aku lapar maka ia menyuapiku, jika aku haus maka
ia memberikan aku minum, tapi sudah tiga hari ini aku kehilangan dirinya maka
tolonglah kau mencari kabar tentangya –semoga Allah merahmati engkau-“.
Aku berkata, “Demi Allah tidaklah seseorang berjalan menunaikan keperluan
seorang saudaranya yang ia memperoleh pahala yang sangat besar di sisi Allah,
lantas pahalanya lebih besar dari seseorang yang berjalan untuk menunaikan
keperluan dan kebutuhan orang yang seperti engkau”.
Maka akupun berjalan mencari putra orang tersebut hingga tidak jauh dari
situ aku sampai di suatu gudukan pasir, tiba-tiba aku mendapati putra orang
tersebut telah di terkam dan di makan oleh binatang buas, akupun mengucapkan
inna lillah wa inna ilaihi roji’uun. Aku berkata, “Bagaimana aku mengabarkan
hal ini kepada orang tersebut?” Dan tatkala aku tengah kembali menuju orang
tersebut, maka terlintas di benakku kisah Nabi Ayyub ‘alaihissalam. Tatkala aku
menemui orang tersebut maka akupun mengucapkan salam kepadanya lalu ia menjawab
salamku dan berkata, “Bukankah engkau adalah orang yang tadi menemuiku?”
Aku berkata, “Benar”. Ia berkata, “Bagaimana dengan permintaanku kepadamu
untuk membantuku?” Akupun berkata kepadanya, “Engkau lebih mulia di sisi Allah
ataukah Nabi Ayyub ‘alaihissalam?” Ia berkata, “Tentu Nabi Ayyub
‘alaihissalam.”
Aku berkata, “Tahukah engkau cobaan yang telah diberikan Allah kepada Nabi
Ayyub? Bukankah Allah telah mengujinya dengan hartanya, keluarganya, serta
anaknya?” Orang itu berkata, “Tentu aku tahu”. Aku berkata, “Bagaimanakah sikap
Nabi Ayyub dengan cobaan tersebut?” Ia berkata, “Nabi Ayyub bersabar,
bersyukur, dan memuji Allah”.
Aku berkata, “Tidak hanya itu, bahkan ia dijauhi oleh karib kerabatnya dan
sahabat-sahabatnya.” Ia berkata, “Benar.” Aku berkata, “Bagaimanakah sikapnya?”
Ia berkata, “Ia bersabar, bersyukur dan memuji Allah.”
Aku berkata, “Tidak hanya itu, Allah menjadikan ia menjadi bahan ejekan dan
gunjingan orang-orang yang lewat di jalan, tahukah engkau akan hal itu?” Ia
berkata, “Iya.” Aku berkata, “Bagaimanakah sikap Nabi Ayyub?” Ia berkata, “Ia
bersabar, bersyukur, dan memuji Allah, lagsung saja jelaskan maksudmu –semoga
Allah merahmatimu-!!” Aku berkata, “Sesungguhnya putramu telah aku temukan di
antara gundukan pasir dalam keadaan telah diterkam dan dimakan oleh binatang
buas, semoga Allah melipatgandakan pahala bagimu dan menyabarkan engkau.”
Orang itu berkata, “Segala puji bagi Allah yang
tidak menciptakan bagiku keturunan yang bermaksiat kepada-Nya lalu Ia menyiksanya
dengan api neraka.” Kemudian ia berkata, “Inna lillah wa
inna ilaihi roji’uun.” Lalu ia menarik nafas yang panjang setelah itu meninggal
dunia. Aku berkata, “Inna lillah wa inna ilaihi roji’uun”, besar
musibahku, orang seperti ini jika aku biarkan begitu saja maka akan dimakan
oleh binatang buas, dan jika aku hanya duduk, maka aku tidak bisa melakukan
apa-apa. Lalu akupun menyelimutinya dengan kain yang ada di tubuhnya dan aku
duduk di dekat kepalanya sambil menangis.
Tiba-tiba datang kepadaku empat orang dan berkata kepadaku “Wahai Abdullah,
ada apa denganmu? Apa yang telah terjadi?” Maka akupun menceritakan kepada
mereka apa yang telah aku alami. Lalu mereka berkata, “Bukalah wajah
orang itu, siapa tahu kami mengenalnya!” Maka akupun membuka wajahnya, lalu
merekapun bersungkur mencium keningnya, mencium kedua tangannya, lalu mereka
berkata, “Demi Allah, matanya selalu tunduk dari melihat hal-hal yang
diharamkan oleh Allah, demi Allah tubuhnya selalu sujud tatkala orang-orang
dalam keadaan tidur!!”.
Aku bertanya kepada mereka, “Siapakah orang ini –semoga Allah merahmati
kalian-?” Mereka berkata, “Abu Qilabah Al-Jarmi sahabat Ibnu ‘Abbas, ia sangat
cinta kepada Allah dan Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam. Lalu kamipun
memandikannya dan mengafaninya dengan pakaian yang kami pakai, lalu kami
menyolatinya dan menguburkannya, lalu merekapun berpaling dan akupun pergi
menuju pos penjagaanku di kawasan perbatasan.
Tatkala tiba malam hari akupun tidur dan aku melihat di dalam mimpi ia
berada di taman surga dalam keadaan memakai dua lembar kain dari kain surga
sambil membaca firman Allah yang artinya, “Keselamatan
bagi kalian (dengan masuk ke dalam surga) karena kesabaran kalian, maka
alangkah baiknya tempat kesudahan itu.” (Qs. 13:
24).
Lalu aku berkata kepadanya, “Bukankah engkau adalah orang yang aku temui?”
Ia berkata, “Benar.” Aku berkata, “Bagaimana engkau bisa memperoleh ini semua.”
Ia berkata, “Sesungguhnya Allah menyediakan derajat-derajat kemuliaan yang
tinggi yang tidak bisa diperoleh kecuali dengan sikap sabar tatkala ditimpa
dengan bencana, dan rasa syukur tatkala dalam keadaan lapang dan tenteram
bersama dengan rasa takut kepada Allah baik dalam keadaan sendirian maupun
dalam kaeadaan di depan khalayak ramai.”
Semoga kisah di atas menjadi pelajaran bermakna bagi kita kaum muslimin.
Ternyata, rahasa hidup agar kita selamat dunia akhirat, bahagia dunia akhirat
adalah sabar dan syukur. Sabar dan syukur adalah sifat yang harus dimiliki
seorang mukmin, dan dengan modal sabar dan syukur itulah Allah Subhanahu Wa
Ta’ala akan memasukkanya kedalam surga-Nya. Wallahua’lam.
