Oleh Abu Tsaqib
Berhenti sejenak saudaraku… Hayati, betapa melimpah nikmat yang telah Allah Ta’ala anugerahkan kepada kita. Karena itu, sudah sepantasnya kita mensyukuri semua nikmat yang dikaruniakan-Nya itu. Karena bersyukur berarti mempertahankan nikmat. Namun sayang, ada dari kita setelah dianugerahi berbagai macam nikmat dan kemudahan serta kelapangan ia malah menjadi kufur, sombong dan lalai. Inilah yang dapat mengubah nikmat menjadi azab.
Bila ada yang bertanya, “Benarkah nikmat dapat berubah menjadi azab?” Maka
jawabannya, benar. Sebab hal itu sangat mungkin bisa terjadi. Karena itu,
hendaknya setiap muslim senantiasa berdoa, seperti doa yang diajarkan
Rasulullah SAW sebagai berikut, “Ya Allah,
sesungguhnya aku berlindung kepadaMu dari hilangnya nikmat, dari azab yang
datang tiba-tiba, berubahnya keselamatan yang diberikan olehMu dan dari semua
kemurkaanMu.” (HR. Muslim).
Hasan al-Bashri rahimahullah berkata, “Sesungguhnya Allah Ta’ala memberikan
kesenangan dengan nikmat kepada siapa saja yang Dia kehendaki; bila mereka
tidak bersyukur, maka Dia akan membalikkannya menjadi adzab.” Ulama salaf lain
seperti Abu Hazim rahimahullah juga pernah berkata, “Setiap nikmat yang tidak
dapat mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala, maka ia adalah bencana (azab).”
Nikmat akan abadi bila disertai dengan rasa syukur dan ketaatan, sedangkan
akan hilang karena perbuatan-perbuatan maksiat, keji dan pembangkangan terhadap
Allah Ta’ala. Umar bin Abdul Aziz rahimahullah berkata, “Kaitkanlah
nikmat-nikmat Allah Ta’ala dengan ungkapan rasa syukur kepadaNya.”
Perhatikan pula firman Allah yang sudah sering kali kita dengar,
artinya, “Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu
memaklumkan; “Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah
(nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmatKu), maka sesungguhnya
azabKu sangat pedih.” (Qs. Ibrahim: 7).
Sungguh, kenikmatan yang Allah limpahkan kepada setiap hambaNya begitu
banyak, sampai-sampai tak seorang pun yang mampu untuk menghitungnya. Allah
Ta’ala berfirman yang artinya, “Dan jika kamu
menghitung nikmat Allah, niscaya kamu tidak dapat menghitungnya.” (Qs.
Ibrahim: 34)
Bahkan apabila seluruh lautan terhimpun menjadi tinta untuk menuliskan
nikmat-nikmat Allah, niscaya air laut itu akan habis sebelum tertuliskannya
semua nikmat-Nya. Sebagaimana halnya air lautan yang akan habis terlebih dahulu
saat dijadikan tinta untuk menuliskan kalimat-kalimat Allah, meskipun
didatangkan tambahan lautan tinta sebanyak itu pula. Hal ini sebagaimana firman
Allah yang artinya, “Katakanlah (Muhammad), “Seandainya lautan
menjadi tinta untuk (menulis) kalimat-kalimat Tuhanku, maka pasti habislah
lautan itu sebelum selesai (penulisan) kalimat-kalimat Tuhanku, meskipun Kami
datangkan tambahan sebanyak itu (pula).” (Qs.
Al-Kahfi: 109).
Nikmat bisa berubah menjadi azab dan bencana. Kemenangan bisa berubah
menjadi kekalahan. Kegembiraan bisa berubah menjadi kesedihan bila kita
mengundang murka Allah. Oleh sebab itu, bila diberi kesehatan, kepandaian,
ilmu, kemudahan, kelapangan, maka sebagai muslim, kita harus mensyukuri dan
mengamalkannya, jangan berbuat sesuatu yang mengundang murka Allah, dimana
akhirnya mengakibatkan nikmat yang diperoleh berubah menjadi azab.
Biasanya, sikap melupakan nikmat muncul dari perbedaan dengan yang lain,
misalnya melihat orang lain sukses sedangkan kita tidak sukses, hal tersebut
yang menghilangkan nikmat yang diterima seolah-olah tidak ada. Padahal jika
kita menyadari bahwasanya masih ada nikmat-nikmat yang lainnya pada diri kita
walau itu berbeda sifat dan bentuknya.
Allah Ta’ala berfirman dalam surat An-Nahl ayat 3 yang artinya “Dan tidak
ada kenikmatan yang ada pada kalian kecuali datangnya dari Allah.” Ini adalah
dalil yang tegas dan jelas dikatakan bahwa nikmat apa saja baik yang besar
maupun kecil, yang banyak maupun yang sedikit, semua itu datangnya dari Allah.
Kufur
Nikmat
Banyak orang tergelincir pada kekufuran, persoalannya bukan terletak pada
dia kaya atau miskin. Di manapun dan kondisi apapun manusia berada, bila ia
tidak ingat Allah maka dia sudah dikategorikan kufur atau lupa diri. Para
pengangguran mengatakan, punya pekerjaan adalah nikmat sekali dan karunia dari
Allah.
Namun, sebagian orang
yang punya pekerjaan atau usaha justru banyak yang melupakan Allah.
Kesibukannya bekerja dan mengembangkan usaha membuat sulit sekali untuk shalat.
Sekalinya melaksanakan shalat, ia berdiri dengan malas. Seolah-olah shalat jadi
mengurangi jatah waktunya untuk bekerja dan berbisnis. Maka jadilah Allah
urutan yang nomor sekian, Tuhan yang terlupakan atau sengaja dilupakan, nauzubillah.
Ini baru dari kacamata shalat, belum lagi kacamata hasil. Maksudnya bila
ditilik kembali Allahlah yang menjadikan kita bisa bekerja dan berbisnis. Tapi
setelah pekerjaan dan usaha kita berkembang pesat dan menghasilkan, apa yang
terjadi? Allah menjadi tidak penting untuk dibagi hasil. Setelah gajian, yang
dicari adalah kesenangan sendiri, keperluan pribadi dan keluarga. Jarang di
antara kita yang ingin membaginya dengan Allah yaitu dengan membagikan atau
menyisihkan sebagian hata kekayaan yang dimiliki kepada anak yatim, fakir
miskin dan orang-orang yang Allah minta untuk diperhatikan.
Sebaliknya, bioskop, dunia hiburan, barang-barang yang kurang perlu, pergi
ke mall, rekreasi, dan sederet rencana perjalanan lainnya justeru lebih banyak
menjadi fokus terbesar, ketika ada uang hasil kerja dan usaha. Bukan justeru
berusaha menyeimbangkan antara pengeluaran dengan sedekah, agar semakin banyak
nikmat yang Allah limpahkan.
Meski kita lupa, tapi marahkah Allah pada kita? Tidak. Allah Ta’ala tidak
pernah marah. Hanya saja ketika kita berlaku demikian, perlindungan Allah tidak
kita dapatkan. Padahal dunia ini selalu berisi ketidakpastian dan senantiasa mengalami
perubahan. Kalaulah Allah sudah tidak lagi mau memperhatikan, dan menjadi
pelindung, lalu siapakah lagi yang akan menjadi pelindung kita? Lalu, akan jadi
apakah hidup kita?
Tentang hal di atas, Allah Ta’ala telah mengingatkan kita dalam firman-Nya
yang artinya, “Katakanlah jika bapak-bapakmu, anak-anakmu,
saudara-saudaramu, istrimu, keluargamu, harta kekayaan yang kamu peroleh,
perniagaan yang kamu khawatir merugi, dan tempat tinggal yang kamu sukai, yang
semua itu lebih kamu cintai daripada Allah dan RasulNya, dan dari berjuang di
jalanNya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusanNya. Dan Allah
tidak akan menunjuki kaum yang fasik.” (Qs.
At-Taubah : 24)
Sebenarnya, kita bukan anak kecil lagi yang perlu diancam oleh gambaran
neraka supaya mau taat. Namun, kenyataannya
kelebihan akal orang dewasa, justeru sering mengabaikan, menyiasati setiap
perintah dan larangan-Nya.
Mudah-mudahan kita semua bukan termasuk orang yang kufur nikmat, wallahua’lam.