Antara Dhuha dan Dunia

Ilustrasi (Foto by Noor-e-Islam) 

Oleh : Mahasiswa STAI Al-Fatah Cileungsi, Bocor

Dalam derasnya arus kehidupan modern, manusia kerap tenggelam dalam kesibukan duniawi. Waktu seolah berlari tanpa jeda; pekerjaan, tanggung jawab, dan ambisi menjadi pusat perhatian. 

Di tengah hiruk pikuk itu, jarang disadari bahwa jiwa pun memerlukan istirahat dan keseimbangan. Salat Dhuha hadir sebagai penawar, bukan hanya dalam bentuk ibadah, tetapi juga sebagai ruang refleksi antara kebutuhan dunia dan ketenangan spiritual.

Salat Dhuha dilakukan pada waktu matahari mulai meninggi hingga menjelang waktu Zuhur. Rasulullah ﷺ sangat menganjurkan amalan ini, bahkan menyebut bahwa salat Dhuha dapat menjadi pengganti sedekah bagi seluruh persendian tubuh. 

Makna ini begitu dalam—sebuah simbol bahwa setiap gerak dan kerja manusia sepanjang hari seharusnya berawal dari kesadaran akan rahmat Allah. Dalam beberapa rakaat yang singkat, seorang hamba sebenarnya sedang membangun hubungan yang kokoh antara upaya duniawi dan harapan ukhrawi.

Dhuha menjadi titik temu antara kerja dan doa, antara aktivitas dan keheningan. Di waktu pagi, ketika banyak orang baru memulai aktivitas, salat Dhuha mengajarkan bahwa mencari rezeki bukan semata urusan tenaga dan strategi, tetapi juga keberkahan. Dunia memang menuntut manusia untuk berusaha keras, namun Dhuha mengingatkan agar setiap usaha disertai niat yang tulus dan sikap tawakal. Karena sejatinya, rezeki bukan hanya soal hasil, tetapi tentang keberkahan yang menyertainya.

Sayangnya, dalam realitas kehidupan, banyak orang menganggap Dhuha sebagai ibadah tambahan yang bisa dilakukan bila sempat. Padahal, justru di sanalah letak ujiannya—apakah manusia mampu menempatkan spiritualitas di tengah rutinitas duniawi. 

Dhuha bukan tentang memiliki waktu luang, melainkan tentang meluangkan waktu bagi Allah di saat dunia menuntut perhatian penuh. Ini adalah latihan kesadaran bahwa segala aktivitas, sekecil apa pun, hanya bermakna bila disandarkan kepada-Nya.

Bagi seorang pekerja, Dhuha adalah momen untuk memohon kemudahan dan keberkahan dalam mencari nafkah. Bagi pelajar, Dhuha menjadi sarana menenangkan hati sebelum menimba ilmu. Bagi siapa pun, Dhuha adalah bentuk rasa syukur atas nikmat kehidupan yang diberikan setiap pagi. 

Dengan Dhuha, manusia belajar bahwa ketenangan tidak selalu datang dari keberhasilan duniawi, melainkan dari keyakinan bahwa Allah selalu menyertai setiap langkah.

Dunia dan Dhuha tidak seharusnya dipertentangkan. Dunia adalah ladang untuk beramal, sedangkan Dhuha adalah cara untuk menyuburkan ladang itu. Dunia mengajarkan manusia tentang kerja keras, sementara Dhuha menanamkan keikhlasan. Dunia menuntut hasil, tetapi Dhuha mengajarkan bahwa yang terpenting adalah keberkahan dari setiap hasil itu.

Ketika manusia mampu menjaga salat Dhuha di tengah kesibukan, itu berarti ia telah berhasil menemukan keseimbangan antara dunia dan akhirat. Ia bekerja keras tanpa kehilangan arah, berambisi tanpa melupakan doa, dan berjuang tanpa meninggalkan ketenangan batin.

Maka, antara Dhuha dan dunia, di sanalah manusia belajar menjadi hamba sejati—yang menggenggam dunia di tangan, namun menempatkan Tuhan di hati.

Lebih baru Lebih lama