Perlukah Ibu Kota Negara Pindah?

Foto: Google

 
Oleh Arina Islami | Mahasiswi Prodi Komunikasi dan Penyiaran Islam (STAI) Al Fatah, Cileungsi, Bogor

BERITA tentang pemindahan Ibu Kota Negara (IKN) begitu ramai menghiasi semua media. Ditambah Rancangan Undang-undang (RUU) IKN yang telah ketok palu menjadi Undang-undang (UU), menimbulkan beragam narasi dari berbagai pihak, baik yang setuju maupun yang bersikeras menolak.

Saya rasa, Anda sudah bisa menebak, saya ada di pihak yang mana.

UU IKN yang disahkan tiba-tiba, mengejutkan banyak pihak. IKN baru yang ditetapkan di Kota Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur seolah membangunkan berbagai asumsi dan pertanyaan, siapa yang diuntungkan dari pemindahan IKN ini?

Proses pengesahan UU IKN yang seolah-olah kejar tayang, sangat jelas mengabaikan aspirasi dan partisipasi masyarakat. Mengutip kalimat Wakil Ketua MPR, Hidayat Nur Wahid dalam Topik Berita Radio Silaturahmi AM 720Khz edisi Rabu (19/1), "UU IKN dibahas terburu buru, bahkan dibahas sampai malam hari, juga tidak mengindahkan begitu banyak masukan dari para pakar." Lihat! Saya tidak sedang mengada-ada.

Anda mungkin akan terkejut ketika tahu bahwa di hari terakhir sebelum pengesahan UU tersebut, DPR membahasnya dalam rapat pukul 3 dini hari. Betapa rajin dan semangatnya para wakil kita ini. Sepertinya gaji dan tunjangan mereka perlu dinaikkan lagi.

Mari kita bahas, sebenarnya pemindahan IKN tidak memiliki alasan yang kuat.

Pertama, IKN merupakan jendela suatu negara di mata internasional. Sehingga sebuah kota yang ditetapkan sebagai IKN harus memiliki nilai historis dan filosofi yang mampu menggambarkan suatu negara. Dengan tidak memandang sebelah mata kota-kota yang ada di daerah lain, kita semua tahu, Jakarta merupakan pusat perjuangan bangsa ini sejak sebelum kita mengenal kata merdeka.

Lagi-lagi saya mengutip kalimat seorang tokoh; Mantan Penasihat KPK, Abdullah Hehamahua dalam Topik Berita Radio Silaturahmi AM 720Khz, edisi Jumat (21/1). Saya memang tidak cukup pandai untuk berargumen tanpa dasar, "IKN harus ada dasar filosofinya, Jakarta dulu namanya Batavia kemudian direbut oleh pahlawan yang namanya Jayakarta. Jadi Jakarta adalah pusat pergerakan, pusat revolusi, pusat perjuangan, maka ditetapkan sebagai IKN. Sekarang kalau ke Kaltim, apa dasar filosofinya? Sehingga tidak memenuhi persyaratan sebagai ibu kota negara." 

Kedua, alasan yang paling sering kita dengar; macet dan banjir. Alasan ini yang paling membuat saya tertawa. Anda tahu? Sebulan yang lalu, tiga pekan, bahkan satu pekan yang lalu setelah tulisan ini dimuat, Kota Penajam Paser Utara yang akan menjadi IKN baru, dilanda banjir. Anda boleh ikut tertawa sekarang.

Lalu kemacetan. Alasan ini membuat saya bingung. Ketika Penajam Paser Utara telah menjadi IKN yang otomatis juga akan menjadi metropolitan, seberapa yakin kota ini tidak akan macet? Apa harus membabat semua hutan Kalimantan untuk membangun jalan tol sebagai upaya mencegah kemacetan? Apa harus merampas tanah masyarakat adat untuk memperluas jalan raya? Saya pikir, pemerintah sedang tidak mengatasi kemacetan, mereka hanya sedang memindahkan kemacetan dari Jakarta ke Kalimantan Timur. Mungkin akal saya yang tidak cukup mampu mencerna alasan ini, Anda bisa bantu jelaskan?

Baik, kita lanjut ke poin ketiga; kepadatan penduduk. Kita mungkin tidak asing dengan berbagai prediksi tentang Jakarta yang akan tenggelam karena menampung begitu banyak manusia dan infrastuktur di atasnya. 

Jika alasan ini digunakan, apakah nanti ketika IKN Baru mengalami kepadatan, maka kita akan pindah ibu kota lagi? Sepertinya pemerintah hanya perlu melakukan pembatasan urbanisasi, dengan membangun infrastruktur di desa, membuka lapangan pekerjaan di desa, menciptakan lembaga pendidikan yang baik di desa. Saya rasa ini cukup untuk menahan masyarakat desa untuk tidak berduyun-duyun pergi ke ibu kota.

Terakhir, yang paling mengkhawatirkan, yakni soal biaya. Awalnya Presiden Jokowi mengatakan, anggaran untuk IKN Baru ini tidak menggunakan APBN, namun Menteri Keuangan RI mengatakan pemindahan IKN ini menggunakan 19 persen dari APBN, 71 persen dari Swasta, serta dengan menjual aset negara yaitu perkantoran-perkantoran yang ada di Jakarta. Tapi ternyata pemerintah menggunakan 51 persen dari APBN, sedangkan biaya untuk pemindahan IKN ini sebesar Rp. 466 Triliun, ini angka yang belum membengkak loh ya.

Anda tahu utang negara kita berapa? Hingga akhir November 2021 utang pemerintah mencapai Rp 6.713,24 triliun.

Bayangkan jika pemindahan IKN ini berujung mangkrak, begitu banyak uang yang dihamburkan, sementara utang negara semakin bertambah.

Seberapa persen keyakinan Anda terhadap kejujuran pemerintah kita? Anda percaya bahwa tidak ada permainan uang di balik mega proyek ini? Sebenarnya saya tidak ingin suudzon, tapi saya sulit percaya kepada negara yang memiliki indeks persepsi korupsi 37 poin --- dari rentang poin 1- 100.[]

Yuharriska

Jurnalis Bashirah Media

Lebih baru Lebih lama