Skenario Terburuk dan Terbaik Covid-19




Oleh Edo Muhammad Abdilah | Mahasiswa STAI Al-Fatah Cileungsi, Bogor 


PERTANYAAN yang sering timbul di benak kita saat ini mengenai pandemi virus covid-19 diantaranya adalah kapan pandemi ini berakhir? apa rencana pemerintah untuk menyelesaikan wabah ini? atau apakah ada skenario yang cocok untuk kita terapkan di Indonesia?  apalagi diperparah oleh adanya demo buruh akibat kebijakan baru pemerintah yang kontroversial mengenai RUU CIPTA KERJA. pertanyaan yang menggiring pada skenario paling mungkin terjadi di Indonesia ialah herd immunity.


Agar kita bisa memahami tentang pilihan sulit ini, saya akan membahas tentang apa yang dilakukan Wuhan, Korsel dan Italia. Versus dengan apa yang dilakukan Iran.


Di Wuhan, Korsel dan Italia, skenario lockdown terbukti berhasil. Karena memang warga dan pemerintahnya memiliki kapasitas yang mumpuni. Warganya memiliki tabungan untuk hidup kedepan dan teredukasi. Hampir semua connected. Jadi komunikasi atas keputusan negara menjadi mudah.


Berbeda dengan di negeri ini, masih ada yang belum terjangkau internet. Adapun memiliki smartphone dan internet, aplikasinya 'joget'. Tidak bisa mengakses info ilmiah. Pemerintah Cina dan Italia juga memiliki sumber dana. Memberi diskon, bantuan dan menjaga supply pangan.


Bukan berarti Indonesia tidak memiliki dana. Ada. Namun Tidak bisa mencukupi untuk seluruh warganya. Konsep lockdown ini seperti "menghapus file". Anda seperti pukul nyamuk satu-satu. Virus ini makhluk yang butuh inang. Butuh reservoir untuk hidup. Butuh agen. Butuh nempel di makhluk hidup agar dia bisa eksis. Maka virus tanpa inang akan mati. Tanpa menempel di inang ia akan selesai. Begitu teorinya. Waktu untuk bertahan tanpa inang berbeda pendapat antar ilmuwan. tidak akan dibahas di artikel ini.


Wuhan, Korsel dan Italia menerapkan pola ini : virus pada manusia dipaksa mati dengan anti bodi. Virus diluar tubuh manusia dibiarkan mati, hilang, atau dibersihkan. Yang positif di isolasi. Yang sakit berat di rawat. Yang nampak tidak bergejala juga di test massal. Untuk dicari yang positif yang mana. Begitu positif, di isolasi lagi. Kenapa? Karena menjadi carrier tanpa gejala inilah yang menjadi biang tidak selesainya sebaran kasus.


Maka Wuhan dan Italia sangat ketat dengan lockdown. Beda dengan Warga korsel, tanpa disuruh pun sudah teratur lockdown. Mirip Jepang.


Mereka tahan semua orang didalam rumah. Karena andai yang didalam rumah tidak ditest pun, virus akan mengalami masa inkubasi hingga 14 hari. Akan mati sendiri. Apalagi Wuhan menjalani lockdown 2 bulan.


Wuhan secara strategi sebenarnya menahan interaksi sosial. Lalu membiarkan yang sebenarnya positif walau tidak dites memiliki antibodi dengan sendirinya.

Begitu juga yang dilakukan di Italia. Di lock, Dibereskan satu demi satu. Hingga targetnya zero casses per day seperti Wuhan. Secara garis besar begitu. Mereka sudah memberi statement menang atas corona.


Strateginya begitu. Total lockdown. Semua di isolasi di rumah. Disiplin.

Rumus ini akan buyar jika yang satu mau di isolasi sementara yang lain masih keluyuran. seperti di Indonesia buyar sudah skema lockdown.


Sekarang kita ke negeri ini, kita buka mata dan hati. Total lockdown bukan skenario kita. Kecuali hanya slowdown social distancing, bubarkan keramaian. Itu masih bisa. Tapi jika mengurung warga di rumah. Hmmm.. Susah.


Lockdown itu membutuhkan jumlah petugas yang cukup. Di Italia, polisi mondar-mandir, yang keluar tanpa keperluan didenda ratusan euro. Itu saja sudah pakai polisi, terjadi puluhan ribu pelanggaran. Masih saja keluar. dan sekarang belum menyatakan menang dan mulai bertambah. 


Lalu bagaimana mengakhiri wabah ini?

Begini, virus yang menjangkiti tubuh akan diserang oleh antibodi ini. Inilah tafakur mendalam kita hari ini, antibodi kita menyusun bahan baku serangan untuk virus covid-19. Khusus untuk si dia saja.


Maka muncul angka 14 harian, atau kurang, dimana antibodi kita menyusun serangan ke covid. Hingga antibodi yang khusus dibentuk untuk covid terbentuk.

Maka setelah terbentuk antibodi alami covid, tubuh kita kebal covid. Secara teori, tidak lagi bisa dijangkiti covid-19.


BACA JUGA : Pencapaian Positif Tingkat Kesembuhan Terjadi di Berbagai Daerah


Nah, Ketika sudah cukup banyak masyarakat yang terjangkiti covid-19, akan terbentuk "sekawanan" manusia yang sudah kebal covid-19. Dan disaat itulah terbentuk namanya kekebalan kawanan atau herd immunity.


Coba , buka video-video yang viral tentang melandaikan kurva. disitu sudah diberitahu, bahwa pada akhirnya semua orang akan terjangkit. Tinggal kecepatan lonjakan yang gejala berat saja. Itu yang diperlambat. Ikhtiar social diatancing kita akan kesitu arahnya. Melandaikan kurva. Memberikan waktu bagi paramedis untuk melayani yang sakit berat. Jangan sampai kapasitas rumah sakit tidak cukup. Maka jangan sampai yang positif covid dan gejala berat jumlahnya puluhan ribu atas satu waktu.


Teori herd immunity ini berat untuk disampaikan. Secara ilmiah, 60%-70% masyarakat akan dan harus terjangkit. Dan kemudian mayoritas yang bertahan akan membentuk antibodi alami.


Lihatlah Iran, mereka tampaknya memakai teori ini, biarkan semua terpapar pada akhirnya. Mereka tidak memiliki kapasitas untuk lockdown. Yang ada tinggal gali kuburan massal di Qom. Ini fakta. Nampak Iran sudah memahami tracknya. Berharap herd immunity.

Iran menjadi parah karena adanya embargo dari US, yang membuat alat-alat medis kurang. Iran sampai akan meminjam ke IMF untuk perawatan. Skenario paparan maksimal memang butuh persiapan.

Walau skenario terpapar tepat tidak kita pilih, melihat kondisi negeri dan perilakunya, inilah yang sebenarnya akan kita hadapi.


Kita harap, slowdown dan social distancing yang kita lakukan sekarang akan memperlambat penularan, memberikan waktu pada fasilitas kesehatan untuk bersiap. Tapi tidak bisa mencegah penularan pada semua. Adapun waktu yang terus berjalan, semoga bisa menjadi buying time untuk menunggu vaksin.

karna sejatinya herd immunity memang tentang 2 kemungkinan, menunggu vaksin atau ya tadi, membiarkan setidaknya 70% penduduk terinfeksi untuk seleksi alam, yang bertahan akan kebal covid, yang tidak kuat akan gugur dan membawa virus tersebut mati bersamanya.


Maka konsekuensi pertama adalah "bersiap terpapar".

Slowdown di rumah ini harus menjadikan kita pribadi yang sehat jasmani dan batin. Karena paparannya cepat atau lambat akan segera datang. Apalagi si covid ini agak bandel, cepat nular.


Makan yang bergizi , perkuat imunitas tubuh, istirahat yang cukup, olahraga gerakkan tubuh, bantu tubuh menyiapkan metabolisme yang optimum, untuk memproduksi antibodi covid secara mandiri.


Konsekuensi kedua adalah "mayoritas jadi carrier"

Dengan demografi anak negeri yang penuh anak muda. Secara statistik, masyarakat kita akan mengalami gejala ringan di anak muda. Bahkan tak bergejala. Maka anak muda negeri ini akan dominan menjadi carier virus. Ini juga yang harusnya diedukasi mendalam. Bahwa positif covid-19 bukan seperti positif HIV. Ini ada diberita, begitu positif covid-19 malah kabur. Salah faham kayaknya. Butuh diedukasi. 


Konsekuensi ketiga "Siapkan Fasilitas Medis" Angka ilmiahnya sudah ada. 60% Terjangkit. Mayoritas tanpa gejala. 20% gejala ringan. Bisa isolasi mandiri. 10% gejala berat yang dimana sepertiganya diprediksi meninggal. Maka muncul angka kematian 3%. 


Jangan sampai seperti Italia hari ini, kaget tidak ada tempat rawat. Padahal Italia ini negeri yang perawatan kesehatannya gratis. Kesehatan ini jadi perhatian nomor 1. Akhirnya sibuk bangun tenda darurat. Sibuk cari gedung untuk rumah sakit. Full sampai lorong-lorong terpakai semua. Ujian memang. Kita doakan segera berlalu. Kita jangan sampai kaget di akhir. Mumpung ada waktu, siapkan saja dari sekarang. 


Jangan menunggu intruksi pemerintah, sediakan saja secara swadaya dari arus bawah. Siapkan bangunannya. Kasurnya. Pelan-pelan. Dengan skenario terpapar 60% populasi, lebih baik mumpung ada waktu kita bersiap. Karena jumlah penduduk kita 4,5 kali Italia. Beneran.


Virus akan memapar ke mayoritas anak bangsa. Biarkan herd immunity terbentuk dengan sendirinya.


Yang perlawanan antibodinya tanpa gejala ya alhamdulillah. Yang sakit ringan-sedang bisa isolasi mandiri di rumah. Semoga rumahnya ada. repot kalau yang tidak punya rumah, kamarnya tidak cukup, perlu ada rumah isolasi tambahan. Yang sakit berat, semoga fasilitas kesehatan kita bisa obati dan tanggulangi.


Dan semoga angka kematian rendah. Angka 8,5% death rate itu karena di kita belum banyak yang test covid. Kasihan Pak Jokowi, jadi bulan-bulanan data yang kurang representatif. Saya yakin death rate kita kecil. Coba saja nanti mass rapid test. Akan banyak yang positif tanpa gejala. dan death rate akan kecil sekali.

Lebih baru Lebih lama