Cukup Satu Kanti

Ilustrasi


Oleh Annisa Novi Alifa | Mahasiswa Prodi Komunikasi dan Penyiaran Islam, STAI Al Fatah, Cileungsi, Bogor


Ibu membunuh anak kandungnya sendiri, mungkin seperti cerita dalam negeri dongeng. Tetapi ini sungguh terjadi di dunia nyata. Kanti Utami (30) seorang ibu yang tinggal di Brebes, Jawa Tengah tega membunuh ketiga anak kandungnya. Satu di antaranya tewas, sedangkan dua lainnya masih menjalani perawatan intensif di rumah sakit. Kisah ini menjadi sorotan di media massa, sosial, dan tidak sedikit warganet menanyakan atas dasar apa Kanti tega melakukan itu kepada anak-anaknya. 

Kanti yang bekerja sebagai penata rias atau make up artist. Sedangkan suaminya bekerja di Jakarta. Ibu tiga anak ini mengaku tega mencelakai anak-anaknya karena ingin menyelamatkan mereka dari penderitaa dunia. Kejadian ini menuai banyak reaksi dari banyak orang, ada yang menanggapi dengan menghujat Kanti, ada pula yang berempati dengan kondisi mentalnya sembari menghakimi suaminya. 

Kedua hal tersebut bukanlah tindakan yang baik, mengapa kita tidak bisa berempati dengan seseorang tanpa harus menghujat pihak yang lain. Dalam kasus ini peran suami dalam menjaga kesehatan mental istrinya sangat diperlukan. Wanita lebih sering mengedepankan perasaan dari pada logika, maka dari itu banyak dari kalangan wanita yang rentan depresi. Karena itu perlunya sebuah pemahaman bahwa menikah bukanlah suatu hal yang dapat disepelekan. 

Banyak hal yang perlu dipersiapkan sebelum menikah, salah satunya adalah persiapan diri kita yang harus mampu menyatukan dua pemikiran yang berbeda menjadi sejalan. Dua orang yang saling mencintai bukan berarti mereka juga mempunyai dua pemikiran yang sama. Oleh karena itu dibutuhkan banyak referensi tentang bagaimana kita mampu menerima dan menghargai pendapat orang lain, serta tidak memaksakan pendapat diri sendiri. 

Dalam Islam menikah bukan hanya membicarakan tentang hubungan antara laki-laki dan perempuan yang sah menurut agama dan negara, atau tentang kebutuhan biologis laki-laki dan perempuan saja. Tetapi tentang bagaimana kesiapan kita membangun sebuah keluarga yang harus mengikuti ajaran keimanan dan ketaqwaan kepada Allah. Hal ini pun tercantum pada UU No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan yang berbunyi ‘’ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa’’. 

Ketika pernikahanmu memberikan kebahagian dalam kehidupanmu, maka itu akan mempengaruhi mentalmu ke arah yang positif. Sebaliknya jika pernikahanmu memberikan banyak kesedihan dalam hidupmu, maka akan membawa mentalmu ke arah yang negatif. Menurut para pakar batas usia untuk menikah adalah salah satu unsur terpenting dalam sebuah pernikahan, karena remaja yang belum cukup dewasa umumnya belum memiliki keuangan yang stabil dan belum yakin benar soal karir yang akan ditempuhnya di masa depan. 

Usia ideal untuk menikah di setiap negara berbeda-beda di Indonesia, hal ini sempat menjadi polemik. Terlebih dalam UU Perkawinan No. 1 Tahun 1974 sebetulnya sangat tidak ideal yakni, batas usia minimal untuk perempuan adalah 16 tahun. Kemudia UU tersebut direfisi menjadi UU No. 16 Tahun 2019, yang menyebutkan bahwa usia minimal dalam menikah adalah 19 tahun bagi laki-laki dan perempuan. Hal ini sesuai dengan ketentuan kemen PPPA, dalam undang-undang No. 35 Tahun 2014Tentang Perlindungan Anak . 

Menurut Badan Kependudukan dan Keluaraga Berencana Nasional (BKKBN). Usia minimal menikah untuk perempuan adalah 21 tahun dan laki-laki 25 tahun. Banyak alasan mengapa menikah di pertengahan umur 20-an dan awal 30-an menjadi patokan yang ideal untuk usia menikah, salah satunya adalah faktor kedewasaan. Dewasa disini  bukan hanya dalam artian bertambahnya umur, akan tetapi juga dari segi kecerdasan emosional, dan kematangan pola pikir. 

Dalam pernikahan suami dan istri memiliki hak dan kewajiban masing-masing. Menurut perspektif Islam, hak seorang istri adalah mengenai harta yaitu mahar dan nafkah, dan hak diperlakukan dengan baik oleh suaminya. Kewajibanya adalah hormat dan patuh pada suami dalam batas-batas yang telah ditentukan dalam Islam. Sedangkan hak suami atas istrinya adalah ketaatan istrinya melaksanakan perintahanya selama sang suami tidak melanggar perintah Allah.

Rumah tangga yang bahagia tidak lepas dari berbagai macam ujian. Masalah akan timbul seiring berjalannya waktu, biasanya masalah yang paling sering timbul adalah masalah finansial. Kebanyakan orang-orang menikah hanya berdasarkan saling mencintai. Cinta bukanlah sesuatu yang bisa menghasilkan uang, jika menikah hanya dengan modal kata cinta maka akan berpengaruh buruk, karena kita manusia tidak makan yang namanya cinta.

Menikah itu berbagi, berbagi kesenangan dan berbagi kesedihan. Manusia tidak akan lepas dari masalah. Belajar dari kasus Kanti, sang suami tidak mengetahui apa yang selama ini dirasakan istrinya. Hal ini disebabkan oleh kurangnya komunikasi antara keduanya hingga menyebabkan sang istri merasa sendiri dalam menghadapi permasalahan hidupnya.

Menikahlah ketika kalian merasa siap, karena menikah bukanlah hal yang sepele. Sebelum menikah perbanyaklah pemahaman tentang hal apa saja yang terjadi setelah menikah, karena menikah bukan hanya tentang resepsi saat pernikahan berlangsung, akan tetapi masalah yang akan timbul ketika sudah menikah. 

Dari kasus Kanti peran lingkungan sangat dibutuhkan bagi kejiwaan seseorang. Tugas kita sebagai manusia adalah menolong orang lain yang tengah menghadapi kesulitan. Agar tidak ada lagi Kanti-kanti yang lain, kita harus lebih peka terhadap orang-orang disekitar kita.[]

Lebih baru Lebih lama