Foto: google |
Oleh Arina Islami | Mahasiswi Prodi Komunikasi dan Penyiaran Islam, STAI Al Fatah, Cileungsi, Bogor
AKHIR-AKHIR INI, kekerasan dari aparat kepolisian kembali mencuat dan menggegerkan media. Tapi seharusnya kita tidak perlu kaget, karena kejadian ini hanya pengulangan kejadian-kejadian sebelumnya. Kasus kekerasan oleh aparat terhadap masyarakat sudah sering berdengung di telinga kita. Hampir seluruh judul berita di media massa menuliskan 'Oknum Polisi Melakukan Tindakan Represif Terhadap Warga', atau berita-berita sejenisnya yang juga memakai kata OKNUM.
Kata OKNUM sendiri mulai ramai digunakan di media massa ketika masa Orde Baru untuk menyelamatkan nama baik lembaga Kepolisian pada masa itu. Orang-orang yang bermasalah dalam kepolisian disebut OKNUM, sehingga tidak mengotori nama instansi tersebut. Walaupun ada puluhan bahkan ratusan polisi yang melakukan kejahatan, tetap disebut OKNUM. Ini merupakan pengendalian opini oleh pemerintah melalui bahasa-bahasa yang digunakan media, dan itu terjadi hingga saat ini.
Di era Jokowi, kasus kejahatan dan kekerasan yang dilakukan polisi sudah puluhan yang viral. Itu yang nampak di permukaan, bagaimana dengan yang tidak viral? Kalau dikumpulkan mungkin lebih dari ratusan kasus. Tetapi kita masih menggunakan kata OKNUM. Ini bukan lagi oknum, ini bukan satu dua orang, bukan lima atau sepuluh orang. Ini puluhan, ratusan. Bukan cuma individunya saja, tapi ada masalah dalam lembaga kepolisian. Ada kecacatan sistem dalam lembaga tersebut.
Kasus tambang di Wadas, Jawa Tengah, dan di Parigi, Sulawesi Tengah, serta ratusan kasus kekerasan lain yang dilakukan oleh polisi, sudah cukup jadi bukti bahwa POLRI bermasalah, cacat, dan krisis kemanusiaan. Tidak cukup hanya memecat atau dijatuhi pasal dengan hukuman penjara atau membayar denda oleh pelaku saja, tapi harus ada pengawasan dan perbaikan dalam lembaga kepolisian.
Kita selalu penasaran, apa yang diajarkan di dalam sana sehingga output-nya brutal dan liar seperti ini. Slogan 'Polisi Mengayomi dan Melayani Masyarakat' membuat kita muntah membacanya.
Saya percaya, dalam tubuh Polri masih ada polisi-polisi baik hati dan tidak sombong, tapi jumlahnya mungkin bisa dihitung jari. Sepertinya polisi yang tahu etika dan tata krama inilah yang lebih cocok disebut oknum, karena jumlahnya sedikit. Sedangkan para polisi bejat dan angkuh mengokang senjata yang jumlahnya seperti bintang di langit ini, tidak pantas disebut oknum.
Oknum kok kalau dikumpulin bisa jadi lima Polda?
Berhenti menutupi kecacatan sistemik dengan penggunaan kata oknum.[]