Mengenal Investasi Syariah

Foto: Penulis


Oleh Marzuqi Muzhoffar, S.H | Alumni Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Tim Syariahsaham.id

BEBERAPA waktu terakhir, kita cukup dihebohkan dengan berbagai macam promosi tentang kemudahan dalam berinvestasi, khususnya berinvestasi saham dan berbagai instrumen lainnya seperti reksadana dan lain-lain. Memangnya apa itu investasi? Apa itu saham? Reksadana? Mari kita bahas satu persatu.

Menurut KBBI, investasi (investment) adalah penanaman modal dalam suatu proyek atau perusahaan yang bertujuan untuk memperoleh keuntungan. Dalam artian luas, makna investasi adalah menyisihkan sedikit harta yang kita miliki untuk dititipkan atau dimasukan ke dalam berbagai instrumen investasi guna mendapatkan keuntungan di masa yang akan datang.

Pada hakikatnya, konsep investasi sangat jauh berbeda dengan konsep menabung pada umumnya. Menabung adalah kegiatan menyimpan uang (saving) untuk digunakan pada suatu hari kemudian. Hal ini sangat berbeda dengan konsep investasi.

Meskipun sama dalam menyisihkan harta yang dimiliki, akan tetapi berbeda dalam goals yang hendak dicapai yaitu keinginan di masa yang akan datang. Menabung bertujuan untuk sebagai antisipasi terhadap situasi yang tidak pasti, sementara investasi jelas mengharapkan keuntungan di masa yang akan datang.

Saat ini sudah sangat banyak jenis instrumen investasi yang ada di sekeliling kita, mulai dari jenis investasi real berupa rumah, properti, tanah, emas batangan sampai usaha atau bisnis, hingga jenis investasi berbasis surat berharga seperti saham, surat utang (obligasi) dan reksadana yang diperjualbelikan secara digital.

Menurut Otoritas Jasa Keuangan (OJK), saham adalah tanda penyertaan modal atau pihak (badan usaha) pada suatu perusahaan atau perseroan terbatas (PT). Dengan menyertakan modal tersebut, maka pihak tersebut memiliki klaim (hak) atas pendapatan perusahaan, aset perusahaan, dan berhak hadir dalam Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS).

Sedangkan reksadana adalah wadah untuk menghimpun dana masyarakat yang dikelola oleh badan hukum yang bernama Manajer Investasi untuk kemudian diinvestasikan ke dalam surat berharga seperti saham, obligasi, dan instrumen pasar uang.

Lalu, bagaimana hukumnya berinvestasi saham? Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI) sudah mengeluarkan beberapa fatwa berkaitan dengan investasi saham, reksadana, dan berbagai instrumen investasi lainnya. Setidaknya terdapat dua fatwa pokok sebagai landasan dalam transaksi jual beli saham dan instrumen investasi syariah lainnya.

Terdapat beberapa hal yang membedakan antara saham biasa dengan saham syariah, yaitu :

1. Akad
Dalam transaksi keuangan syariah, akad adalah hal yang sangat jelas membedakan antara keuangan konvensional dengan keuangan syariah.

Secara singkat, akad adalah suatu ikatan atau kesepakatan, ada yang mengatakan bahwa akad adalah suatu pertalian ijab dan qabul sesuai dengan kehendak syariat yang berpengaruh pada suatu objek perikatan. Di dalam akad juga terdapt rasa saling ridho dalam bertransaksi (‘an taraadhin) yang juga menjadi salah satu faktor akad ini menjadi sah.


2. Saham yang diperjualbelikan tidak memproduksi unsur yang diharamkan dalam Islam
DSN-MUI mengkategorikan bahwa perusahaan yang masuk kategori saham syariah wajib untuk tidak memproduksi sesuatu hal yang haram dan bertentangan dengan ajaran Islam, misalnya seperti perusahaan rokok, perusahaan produsen minuman keras, hingga perusahaan yang bergerak dalam bidang jasa keuangan berbasis ribawi seperti perbankan, asuransi, dan leasing konvensional.

Hal ini sebagai sikap dalam menjauhi unsur haram dari zatnya (lii dzaatiihi).


3. Pendapatan non halal dari perusahaan yang sahamnya diperjualbelikan kurang dari 10%
Sebagaimana penulis paparkan di atas, maka dalam hal ini adalah menghindari dari hal selain zatnya (lii ghoirihi). Mengapa masih ada batas toleransi bagi perusahaan dengan saham syariah untuk kategori ini?

Kita tak dapat memungkiri bahwa sistem ekonomi yang kita gunakan masih terdapat unsur ribawi dan DSN-MUI berkomitmen untuk mengedukasi dan mengarahkan seluruh umat Islam di Indonesia untuk perlahan bertransaksi dengan layanan keuangan syariah yang ada, agar kelak seluruh umat muslim dapat bertransaksi menggunakan sistem keuangan yang sesuai dengan kaidah syariah.


4. Utang perusahaan yang sahamnya diperjualbelikan tidak lebih dari 45% total aset perusahaan
Dalam berbisnis, tak dapat kita pungkiri bahwa utang bukanlah suatu hal yang buruk, melainkan hal tersebut bisa menjadi stimulus guna menunjang kelancaran berbisnis dalam suatu perusahaan.

Untuk menghindarkan perusahaan yang masuk ke dalam kategori saham syariah dari tindakan yang tidak diiinginkan seperti Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU), fraud hingga pailit bagi suatu perusahaan, maka DSN-MUI memberikan batas toleransi bagi suatu perusahaan untuk memiliki utang dengan maksimal 45% dari total aset yang dimiliki.[]
Lebih baru Lebih lama