Dokumentasi: Adnan Farid |
Oleh Ahmad Soleh S.Pd.I, M.A | Ketua STAI Al-Fatah Cileungsi, Bogor
Setiap peristiwa alam merupakan kalimat yang harus dibaca walau tidak tersusun dari kata dan aksara. Berbagai nikmat Allah di alam ini akan tetap menjadi sarana pendukung peradaban selama manusia tunduk kepada syariat Allah. Air misalnya memiliki banyak manfaat baik yang sudah diketahui maupun yang belum diketahui manusia.
Namun saat manusia melupakan hukum Allah, baik hukum yang termaktub dalam Al-Qur'an maupun yang terpampang di alam ini, maka nikmat tersebut akan berubah menjadi laknat, anugerah menjadi musibah dan karunia menjadi bencana. Air yang tadinya membawa banyak manfaat menjadi banjir yang membawa kerugian.
Allah SWT. berfirman, "Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri. Dan apabila Allah menghendaki keburukan terhadap sesuatu kaum, maka tak ada yang dapat menolaknya; dan sekali-kali tak ada pelindung bagi mereka selain Dia." (QS. Ar-Ra'du [13] : 11).
Ayat lain menegaskan, "Yang demikian (siksaan) itu adalah karena sesungguhnya Allah sekali-kali tidak akan merubah sesuatu ni`mat yang telah dianugerahkan-Nya kepada sesuatu kaum, hingga kaum itu merubah apa yang ada pada diri mereka sendiri, dan sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui." (QS. Al-Anfal [8] : 53).
Namun musibah memiliki filosofi dan tujuan beragam. Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Atsqolani berkata, “Kata musibah berasal dari kata yang bermakna lemparan anak panah. Kemudian kata itu digunakan untuk setiap bencana, musibah, dan malapetaka”. Sementara Ar-Raghib berkata, “Kata Ashaaba -yang merupakan kata kerja lampau dari mushibah- digunakan pada kebaikan dan keburukan yang menimpa.”
Sehingga pertama, musibah dapat dipahami sebagai cobaan untuk meninggikan derajat dan memperbesar pahala. Hal ini sebagaimana telah menimpa para nabi dan orang pilihan.
Kedua, musibah sebagai kaffarat untuk menghapuskan dosa-dosa. Firman Allah, “Siapa yang mengerjakan keburukan niscaya akan diberi balasan akibat keburukan itu.” (QS. An-Nisa’ [4] : 123).
Nabi SAW. menegaskan, “Tiadalah seorang muslim yang ditimpa musibah dalam bentuk kelelahan, sakit, kesusahan, kesedihan, gangguan, dan kecemasan, melainkan Allah menghapuskan segala kesalahan dan dosanya dengan musibah itu, hingga duri yang menusuknya juga sebagai penghapus dosa.” (HR. Bukhari, No. 5318). Di hadis lain dinyatakan, “Siapa yang Allah inginkan kebaikan, Allah timpakan musibah kepadanya.” (HR. Bukhari, No. 5321).
Ketiga, musibah sebagai hukuman berupa azab yang disegerakan karena kemaksiatan yang dilakukan dan tidak segera bertaubat. Rasulullah SAW. bersabda, “Apabila Allah menghendaki kebaikan pada hamba-Nya, disegerakanlah hukuman baginya di dunia. Jika Allah menghendaki kejelekan pada hamba-Nya, Allah akan menahannya lantaran dosa-dosanya hingga (dibalas) secara sempurna kelak pada hari kiamat.” (HR. At-Tirmidzi, No. 2396).
Maka terhadap setiap musibah yang menimpa, hendaknya kita berbaik sangka kepada Allah dan selalu melakukan evaluasi diri, Wallahu A'lam.[]