Kisah Kalian Baru Dimulai ...

Arif Ramdan 


TAHUN 1999 saya pertama kali menginjakan kaki di Cileungsi, dusunnya Pasirangin, Kabupaten Bogor. Bapak saya, almarhum, meminta saya melihat kampus bernama Sekolah Tinggi Islam Al Fatah (STIA).

“Lihat-lihat saja dulu, siapa tahu berminat sekolah di kampus itu, jurusannya Komunikasi Penyiaran Islam, cocok kalau mau jadi wartawan nanti,” kata Bapak saya.

Tiba di Cileungsi, suasananya teryata lebih kampung, tidak terlihat kampus mentereng yang kokoh berdiri. Padahal yang terpikir saat itu ada kampus megah dan dekat dengan akses masuk jalan utama, alias jalan raya besar. Saat itu bersamaan acara taklim pusat, saya lebih banyak larut mengikuti pengajian ketimbang bertanya di mata letak kampus dan mana mahasiswanya.

Tidak terlalu bersemangat karena hanya satu bangunan kecil di ujung lapangan dengan papan nama STIA berwarna biru. Suasana pun becek, hujan baru saja turun saat acara taklim berlangsung. Tanah merah menempel di sandal, beberapa orang terlihat kesulitan berjalan di salah satu lorong menuju masjid. Kerumunan semakin banyak, padat, shalat zuhur pun saat itu bisa tiga gelombang selain karena masjid tak mampu menampung jamaah.

Setahun kemudian, saya kembali ke Cileungsi untuk mendaftar menjadi mahasiswa. Nasihat Bapak, mengalahkan keinginan saya untuk tidak kuliah di sini. Keinginan saya saat itu terlalu tinggi, saya malah sudah berencana ingin ke IAIN Syarif Hidayatullah, selain sebagian teman-teman saya sudah daftar di Ciputat.

Saya resmi tercatat sebagai mahasiswa STIA yang kemudian nomenklaturnya berganti menjadi STAI Al Fatah, dengan jurusan KPI dan program ilmu komunikasi. Saya tidak begitu paham saat itu, dan hingga akhirnya selesai kuliah di sini juga tidak mengerti mengapa STAI saat itu ‘menjual’ dua program sekaligus dengan jumlah SKS yang banyak.

Masa Ta’aruf Mahasiswa (Mastama) dulu namanya Orientasi Studi dan Pengenalan Kampus (Ospek) angkatan kedua juga diadakan di kampus ini, giliran saya diospek oleh angkatan satu. Saya dapat bocoran bahwa angkatan pertama malah diospek oleh para syubban, pemuda di Cileungsi dan tidak ada kaitan apa-apa dengan dunia kampus. Hanya ospek menjadi bagian dari keluarga Markaz Cileungsi. Sampai di sini, bisa paham kan? Bagaimana kampus ini awal bermula hadir? Meski saat peluncuran perdana di  Wisma Antara Jakarta yang mewah dan dengan suasana akademik yang luar biasa.

Menjadi bagian dari warga shuffah bukan perkara mudah, saat itu situasi tidak seperti sekarang. Jalanan masih becek. Listrik sering padam, banyak nyamuk, kadang juga gerah tidak menentu. Potongan keramik menghiasi jalanan yang becek sekitar kompleks pesantren. Katanya, itu keramik pecah kiriman dari pabrik atau buangan material bangunan sengaja dibuang ke pesantren untuk mengurangi becek tanah merah liat saat musim hujan tiba.

Belum lagi bau taik ayam dari kampung sebelah di mana terdapat pertenakan ayam potong. Saat angin sedang mengarah ke pesantren,  baunya bikin pusing kepala. Itu tahun 2000, demikian keadaan Cileungsi! Sesekali saya terhibur dengan melimpahnya buah rambutan saat musimnya tiba. Cileungsi memang terkenal dengan rambutannya saat itu.

Beruntung, saat itu saya mendapat dosen-dosen luar biasa pada bidang jurnalistik dan ilmu komunikasi. Meski hanya dua lokal yang kadang harus berbagi kursi dengan angkatan pertama. Dosen-dosen saat itu berdedikasi penuh bagi mahasiswa. Pada bidang jurnalistik, para dosen dari Kantor Berita Antara, jurnalis kawakan dan dosen dari UIN Syarif Hidayatullah dan IISIP Jakarta bersemangat memberi kuliah. STAI saat itu tidak memiliki dosen tetap, semua dosen impor dari kampus lain yang telah bekerjasama secara institusi. Kalaupun ada dosen lokal, yang mereka yang kebetulan saja berada di Cileungsi.

Semester tiga saya sudah jenuh, selain biaya tinggal di Cileungsi cukup besar. Beasiswa pun tidak ada. Rasanya ingin berhenti saja kuliah atau pindah kuliah di kampus lain yang lebih jelas meski harus bayar mahal. Keinginan itu, sempat disampaikan ke orangtua saya. Tetapi, jawabanya saat itu tidak memuaskan untuk saya. Saya diminta tetap di Al Fatah, apapun yang terjadi.

Dengan segala dinamika yang berkembang, akhirnya saya berada di ujung akhir masa perkuliahan. Banyak kejadian dan peristiwa menimpa saya selama di Cileungsi. Bersyukur saat itu, usai kuliah magang di Majalah Sabili, saya mendapat kepercayaan untuk menjadi kontributor mengirim naskah rutin ke majalah islam yang saat itu sangat bergengsi dan jadi rujukan umat Islam Indonesia.

Semester lima sudah punya honor rutin dari menulis di majalah dan sudah terlibat di majalah Al Jamah juga kegiatan keumatan di Markaz. Kisah ini panjang jika dinarasikan lagi, tetapi satu pesan inti yang dapat saya bagikan di sini,  bahwa sabar dan sungguh-sungguh itu merupakan modal di masa hadapan. Beruntung saya menjadi mahasiswa yang mendapatkan bimbingan langsung dari Allahu Yarham Imam Muhyiddin Hamidy yang saat itu masih memiliki peran penting di Kantor Berita Antara. Jurnalistik terapan yang almarhum ajarkan ke saya lebih ‘kejam’ dari cara dosen mengajar di kelas, sering saya mau menyerah dengan pola beliau mengajarkan saya menulis berita.

Ketika saya berkarir resmi pada tahun 2005 di media nasional di bawah payung Kelompok Kompas Gramedia (KKG) dengan tugas di Koran Serambi Indonesia,  Banda Aceh. Saya baru paham dan betapa berharganya ilmu yang diajarkan di Cileungsi. Saya satu-satunya lulusan STIA yang diterima di media bergengsi di Indonesia dengan jaringan yang luas dan disiplin dalam melahirkan karya jurnalistik. Saya beruntung!, mungkin itu skenario yang Allah Subhanahatu wa ta’ala jalankan untuk saya. 

Hari ini saya berbagi, dan saya ada bersama kalian mahasiswa baru tahun akademik 2021-2021, adik kelas saya yang terpaut jauh. Tetapi saya bangga pernah menjadi bagian dari mimpi besar STAI Al-Fatah yang saat ini sudah lebih baik dan memiliki dosen tetap. Saat ini Kampus STAI terus berbenah menjadi lembaga professional, Insya Allah.

Percayalah, semua itu, termasuk kalian yang saat ini ada sini adalah bagian dari kisah panjang yang belum berakhir. Dan kalian akan melanjutkan kisah ini dengan masa dan situasi yang berbeda. Syukuri, kalian berada di sini dan ini bukan kebetulan, tetapi skenario Allah Subhanahu wa ta ala untuk kalian yang telah menjadi bagian dari kisah ini. Kisah panjang yang belum berakhir.

Selamat tiba di Cileungsi, kisah kalian baru saja akan dimulai ……

Lebih baru Lebih lama