Masalah Pendidikan Kita

Sumber foto : Google


Oleh Arina Islami | Mahasiswi STAI Al Fatah Bogor


PENDIDIKAN kita masih pincang. Di berbagai penjuru negeri, banyak anak-anak tak paham mana huruf, mana angka. Jangankan di pelosok desa, di ibukota saja anak-anak bertelanjang kaki menyusuri jalanan untuk meraih sesuap nasi. Seharusnya usia mereka adalah usia belajar, menerima ilmu untuk masa depan. Tapi apalah daya, negara kita tidak damai bagi mereka.


Pada September 2020, Direktur Jenderal Pendidikan Anak Usia Dini, Pendidikan Dasar dan Pendidikan Menengah menyatakan ada beberapa daerah yang perlu difokuskan untuk memberantas buta huruf, yakni Papua masih 21,9 persen, Nusa Tenggara Barat 7,46 persen, Nusa Tenggara Timur 4,42 persen, Sulawesi Selatan 4,22 persen, Sulawesi Barat 3,9 persen, dan Kalimantan Barat 3,81 persen.

Selain itu, terhitung mulai Maret 2020 s.d. Februari 2021 ada 34 kasus siswa putus sekolah karena menunggak SPP selama berbulan-bulan. Dari 34 kasus tersebut, 3 diantaranya berasal dari sekolah yang sama. Hampir 90% kasus berasal dari sekolah swasta dan 75% kasus berada dari jenjang SMA/SMK.

Masalah pendidikan kita bukan hanya itu. Para siswa saat ini telah kehilangan figur yang bisa dijadikan panutan. Mereka menjadi liar. Terlalu banyak kasus yang disebabkan kedurhakaan siswa kepada gurunya. Melakukan tindak kekerasan terhadap guru dikarenakan sang guru menegur siswa yang melakukan kesalahan. Bukankah ini krisis moral yang luar biasa?

Siswa kian berani menantang guru. Bahkan berani mengancam atau melakukan kekerasan kepada guru. Menurut data KPAI, setidaknya ada 445 kasus bidang pendidikan sepanjang 2018 dan 51% diantaranya merupakan kasus kekerasan baik fisik, seksual, dan verbal. Fenomena ini bisa jadi potret hitam dunia pendidikan Indonesia.

Ditambah lagi, ketika orang tua wali siswa juga membela anaknya yang salah lalu ikut menghardik sang guru. Pendidikan kita tidak akan bisa maju jika pikiran para siswa dan orang tua wali siswa masih primitif seperti ini.

Lagi. Permasalahan pendidikan kita selanjutnya adalah proses penerimaan siswa di suatu sekolah dengan melihat nilai rapot calon siswa. Ketika nilai rapotnya di bawah kriteria sekolah tersebut, maka calon siswa tidak diterima.

Saya rasa ini hal yang konyol. Bagaimana tidak, ketika sekolah hanya menerima calon siswa yang memiliki nilai tinggi? Bukankah karena bodoh maka mereka belajar agar pintar? Jika sekolah hanya menerima siswa yang pintar, lalu yang bodoh dikemanakan? Bukankah tugas sekolah adalah mencerdaskan anak bangsa?

Proses penerimaan siswa yang menggunakan cara seperti itu, bagi saya hanya untuk mengangkat nama instansi. Mencari siswa yang pintar dan berprestasi agar instansi tersebut menjadi terpandang. Padahal sekolah dibangun untuk melahirkan siswa yang pintar, bukan menyaring dan mengklasifikasi siswa yang pintar dan tidak.

Tepat tanggal 2 Mei 2021 yang dirayakan sebagai Hari Pendidikan Nasional, saya berharap pendidikan Indonesia memiliki kemajuan. Merata bagi semua kalangan dan benar-benar mampu mencerdaskan anak bangsa. Serta permasalahan di atas dapat diatasi dengan bijak.

Maka kita sebagai anak bangsa, perlu ikut andil dalam mengupayakan kemajuan pendidikan di negara ini, dengan apa yang kita bisa. Karena untuk kebaikan suatu bangsa tidak bisa dilakukan oleh satu orang saja atau satu kelompok saja. Harus ada kerja sama dan gotong royong antara pemerintah dan rakyatnya, antara guru dan siswanya dan antara seluruh lapisan masyarakat.

Lebih baru Lebih lama