Oleh Bahron A.
ALLAH SWT berfirman, "Dan berendah dirilah (tawadhu) kamu terhadap orang-orang yang beriman." (QS 15: 88). Dalam Ihya' Ulumuddin, diriwayatkan bahwa suatu ketika Yunus bin 'Ubaid, Ayyub As-Sakhtiani dan al-Hasan al- Basri mendiskusikan arti tawadhu. Hasan berkata, "Tahukah kamu apa itu tawadhu? Tawadhu ialah saat kamu keluar dari rumah dan menjumpai seorang Muslim lalu kamu melihat bahwa orang tersebut memiliki kelebihan daripada dirimu sendiri."
Hakikat tawadhu
ialah merasa hina dengan tetap berpegang teguh pada kebenaran yang merujuk pada
Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Tawadhu bukanlah rendah diri, melainkan rendah hati.
Orang yang tawadhu tidak akan merasa tinggi hati ketika dipuji. Dan sebaliknya,
tidak merasa hina ketika dicaci. Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wasallam pun pernah
bersabda, "Siapa bertawadhu karena Allah, maka Allah
akan mengangkat derajatnya."
Sayyid Abdullah
bin Alawi Al-Haddad dalam Risalatul Mu'awanah wa al-Muwazarah menguraikan
indikator orang yang memiliki karakter tawadhu. Di antaranya ialah lebih
menyukai tidak dikenal ketimbang terkenal, menerima kebenaran dari siapa pun,
mencintai orang-orang fakir dan bersosialisasi dengannya, serta bersifat altruistis (lebih mementingkan orang lain dibanding dirinya sendiri).
Adapun lawan
dari tawadhu ialah sifat takabur (sombong). Ciri utama takabur ialah menolak
kebenaran dari siapa pun (bathar al-haq) dan meremehkan sesama manusia (ghamthu
an-nas). Abdullah bin 'Amr pernah bersua dengan Abdullah bin Umar di atas
Bukit Shafa, lalu keduanya berhenti sejenak. Kemudian Abdullah bin 'Amr pergi,
sementara Abdullah bin Umar masih berdiri di atas bukit dan menangis. Lantas
orang-orang bertanya, "Apakah yang menyebabkanmu menangis?" Ia
menjawab, "Sebab Abdullah bin 'Amr pernah mendengar sabda Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wasallam bahwa siapa dalam hatinya ada sifat takabur
seberat biji sawi, niscaya Allah akan membenamkan mukanya dalam api
neraka."
![]() |
Sejarah telah membuktikan, kesombongan akan selalu berakhir pada jurang kebinasaan. Fir'aun, Namrud, dan Qarun adalah contoh manusia yang hancur karena keangkuhannya. Ingatlah selalu nasihat Lukman al- Hakim pada anaknya yang terekam abadi dalam Al Quran, "Dan janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia (karena sombong) dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri." (QS 31: 18).
Dalam Ihya'
diceritakan bahwa Allah Subhanahu Wa Ta’ala
pernah berfirman kepada Nabi Musa, "Sesungguhnya Aku menerima
shalat orang yang merendahkan dirinya karena kebesaran-Ku, ia tidak
menyombongkan dirinya atas makhluk-Ku, serta hatinya senantiasa takut dan
berzikir kepada-Ku, serta ia mengekang nafsunya karena-Ku." Oleh
karena itu, janganlah Anda berbangga hati akan keelokan fisik, jabatan,
kekayaan, gelar kesarjanaan, serta berbagai atribut keduniaan lainnya.
Sadarilah sedini mungkin bahwa semuanya itu ada rentang batasnya.
Jauhkanlah jiwa kita dari haus eksistensi diri dan ketamakan penghargaan dari sesama manusia. Hargailah sesama karena kemanusiaannya sembari menihilkan diri kita sendiri. Ibnu Hajar al-Asqalani dalam Fathul Bari menegaskan, esensi tawadhu adalah menampakkan diri lebih rendah pada orang yang ingin memuliakannya.[]