Manusia Penerima Amanah Harta

Foto: penulis

Oleh Deni Rahman | Kaprodi KPI STAI Al-Fatah Cileungsi, Bogor

Manusia diciptakan oleh Allah SWT dengan memiliki kecenderungan mencintai harta benda. Kebutuhan manusia terhadap harta memang tidak dapat dipisahkan. Harta dibutuhkan manusia untuk memenuhi kebutuhan hidup, memaksimalkan pelaksanaan ‘ubudiyah, dan salah satu sarana meraih kebahagiaan di dunia dan akhirat. 

Posisi manusia atas harta kekayaan adalah sebagai khalifah Allah yang bertugas untuk mewujudkan kemakmuran dan kesejahteraan dalam hidup dan kehidupan (QS Al An’am : 165) serta tugas pengabdian dalam arti luas (adz-Dzariyat : 56).

Al-Qur’an menyatakan bahwa semua apa yang ada di langit dan di bumi adalah milik Allah, karena Dialah yang menciptakannya, Dialah yang memeliharanya, dan Dia pula yang mengatur semua yang ada. Manusia hanya penerima amanah untuk memanfatkan apa yang ada atas izin-Nya. Sebagaimana disebutkan di dalam Q.S. al-Hadîd ayat 7 :

ءَامِنُواْ بِٱللَّهِ وَرَسُولِهِۦ وَأَنفِقُواْ مِمَّا جَعَلَكُم مُّسۡتَخۡلَفِينَ فِيهِۖ فَٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ مِنكُمۡ وَأَنفَقُواْ لَهُمۡ أَجۡر كَبِير

“Berimanlah kamu kepada Allah dan Rasul-Nya dan nafkahkanlah sebagian dari hartamu yang Allah telah menjadikan kamu menguasainya. Maka orang-orang yang beriman di antara kamu dan menafkahkan (sebagian) dari hartanya memperoleh pahala yang besar”

Dari ayat tersebut sedikitnya terdapat tiga hal yang patut kita ketahui, pertama, segala sesuatu yang  ada  di  jagat  raya  ini  termasuk    apa  yang  ada  di  alamnya,  mutlak  dan  murni  milik Allah. Kedua, manusia hanya diberi amanat dan kekuasaan sebagai wakil untuk mendistribusikan   kepada  yang   berhak.   Ketiga, seyogyanya pemilik harta itu tidak boleh   bakhil   terhadap   hartanya,   karena   harta  itu  merupakan  titipan  dan  amanah  dari Maha Pemilik harta tersebut.

Kedudukan manusia sebagai khalifah Allah SWT dalam hal harta, pada hakikatnya menunjukkan bahwa manusia merupakan wakil atau petugas yang bekerja kepada Allah SWT. Oleh karena itu, menjadi kewajiban manusia sebagai khalifah Allah untuk merasa terikat dengan perintah-perintah dan ajaran-ajaran Allah tentang harta. Inilah landasan syari’at yang mengatur harta, hak dan kepemilikan. Kesemuanya harus sesuai dengan aturan yang memiliki harta tersebut, yaitu aturan Allah Swt.

Diantara ayat Alquran yang berbicara tentang kepemilikian mutlak adalah surah Thaha ayat 6, Allah berfirman:

لَهُۥ مَا فِي ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَمَا فِي ٱلۡأَرۡضِ وَمَا بَيۡنَهُمَا وَمَا تَحۡتَ ٱلثَّرَىٰ  

“Kepunyaan-Nya-lah semua yang ada di langit, semua yang di bumi, semua yang di antara keduanya dan semua yang di bawah tanah.”

Berdasarkan ayat ini semua yang ada di langit dan di bumi adalah milik Allah, manusia hanya bisa memanfaatkannya, bukan pemilik sebenarnya. Manusia hanya diberi ilmu pengetahuan agar bisa memanfaatkan semua yang ada di bumi-Nya, itupun masih banyak harta yang belum bisa dimanfaatkan karena keterbatasan kemampuan manusia. Implikasi dari kedudukan ini adalah bahwa manusia tidak boleh sombang, angkuh, dan kikir terhadap harta, karena pada akhirnya akan kembali pada-Nya. Manusia wajib mengeluarkan sebagian hartanya sebagai wujud kesyukurannya, karena dia telah dipercayai oleh Allah swt untuk mengelola harta tersebut.

Harta yang ada pada manusia adalah hanya sebagai titipan, maka pada hakikatnya manusia tidak memiliki harta secara mutlak.  Karena harta itu adalah titipan, maka manusia berkewajiban untuk menggunakan harta tersebut sebesar-besarnya untuk mengabdi kepada Allah. Tidak diperbolehkan untuk maksiat, tidak boleh membelanjakannya secara berlebihan (boros, mubadzir) atau menelantarkannya sehingga tidak bermanfaat. Manusia harus memastikan agar hartanya itu digunakan untuk taqarrub ilallah (mendekatkan diri kepada Allah) atau berfungsi untuk kemaslahatan dunia dan akhirat. 

Manusia tidak akan memiliki harta titipan terus menerus, suatu saat Allah akan mengambilnya juga, baik melalui kematian, musibah, sakit dan lain sebagainya. Implikasi dari harta adalah titipan, bahwa supaya harta dapat kekal dimiliki selamanya dan bisa dibawa sampai ke akhirat, harta tersebut harus dikembalikan kepada Allah swt dengan cara disalurkan melalui zakat, infak dan sedekah atau wakaf. Atau bisa juga dengan cara distribusi lain seperti hibah atau hadiah.

Karena itu pula, Allah SWT mengingatkan, bahwa dalam harta-harta seseorang terdapat pula hak-hak orang lain, yang wajib dikeluarkan baik melalui zakat, infak, sedekah dan lainnya. “Dan pada harta-harta mereka, ada hak untuk orang miskin yang meminta dan orang miskin yang meminta”. ( QS Adz- Dzariyat ayat 19), Wallahu a’lam bish showab.[]

Yuharriska

Jurnalis Bashirah Media

Lebih baru Lebih lama