Oleh Deni Rahman | Ketua Program Studi Komunikasi Dan Penyiaran Islam STAI Al Fatah Cileungsi, Bogor
Allah SWT menegaskan bahwa harta dan anak hanyalah zinah (perhiasan), bukan qimah (nilai), sehingga derajat kedudukan manusia tidak bisa diukur dengan keduanya. Derajat manusia hanya diukur dengan keimanan dan amal saleh. Di surat al kahfi ayat 7 Allah berfirman yang artinya : “sesungguhnya Kami telah menjadikan apa yang ada di bumi sebagai perhiasan baginya....”
Hal senada terdapat pula dalam surat al-Kahfi ayat 46 dimana Allah SWT menyatakan :
ٱلۡمَالُ وَٱلۡبَنُونَ زِينَةُ ٱلۡحَيَوٰةِ ٱلدُّنۡيَاۖ وَٱلۡبَٰقِيَٰتُ ٱلصَّٰلِحَٰتُ خَيۡرٌ عِندَ رَبِّكَ ثَوَابٗا وَخَيۡرٌ أَمَلٗا
“Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia tetapi amalan-amalan yang kekal lagi saleh adalah lebih baik pahalanya di sisi Tuhanmu serta lebih baik untuk menjadi harapan.”
Sebagian mufasir mengatakan Allah SWT bahwa menyebutkan harta terlebih dahulu dari pada anak karena dengan harta, manusia bisa memiliki kedudukan terhormat walaupun tidak memiliki kelebihan lain. Berbeda dengan orang yang memiliki banyak anak namun tidak memiliki harta, maka akan berada dalam kehidupan yang sulit. Harta dan anak sering digunakan sebagai alat membanggakan diri, karena di dalam harta ada unsur keindahan dan kemanfaatan, kemudian di dalam anak ada unsur kekuatan dan pembelaan. Lebih spesifik lagi, kecenderungan manusia kepada harta ini digambarkan oleh Allah SWT di surat Ali Imran ayat 14.
Surat Al-Kahfi ayat 46 di atas merupakan kelanjutan dari ayat sebelumnya, yang digambarkan bahwa salah satu faktor yang membuat orang kafir enggan bertauhid dan menyembah Allah adalah kecenderungan menyukai permasalahan duniawi secara berlebihan. Mereka tidak sadar bahwa keberadaan duniawi yang mereka miliki itu sifatnya hanya sementara, bagaikan perkebunan yang subur pada satu masa, dan kemudian mengalami kekeringan pada masa lainnya. Nabi diminta oleh Allah untuk menasihati umatnya agar tidak seperti orang musyrik.
وَٱضۡرِبۡ لَهُم مَّثَلَ ٱلۡحَيَوٰةِ ٱلدُّنۡيَا كَمَآءٍ أَنزَلۡنَٰهُ مِنَ ٱلسَّمَآءِ فَٱخۡتَلَطَ بِهِۦ نَبَاتُ ٱلۡأَرۡضِ فَأَصۡبَحَ هَشِيمٗا تَذۡرُوهُ ٱلرِّيَٰحُۗ وَكَانَ ٱللَّهُ عَلَىٰ كُلِّ شَيۡءٖ مُّقۡتَدِرًا
“Dan berilah perumpamaan kepada mereka (manusia), kehidupan dunia sebagai air hujan yang Kami turunkan dari langit, maka menjadi subur karenanya tumbuh-tumbuhan di muka bumi, kemudian tumbuh-tumbuhan itu menjadi kering yang diterbangkan oleh angin. Dan adalah Allah, Maha Kuasa atas segala sesuatu.”
Imam Al-Qurtubi dalam kitab tafsirnya Al-Jami‘ li Ahkamil Qur’an menjelaskan mengapa dunia diumpamakan dengan air. Pertama, air itu tidak tidak menetap di tempat yang itu-itu saja. Air yang mengalir pasti bergeser dari satu ruang ke ruang yang lain. Begitupun dengan dunia, orang yang mempunyai harta duniawi itu terkadang berada dalam kondisi berjaya, dan suatu saat memungkinkan jatuh.
Kedua, pada umumnya tidak ada orang yang mampu membelah air dan mengatur arah aliran air yang deras tanpa bantuan alat. Hal ini pun persis dengan duniawi, semakin besar yang dimiliki seseorang maka semakin besar juga ujian dan bahaya yang akan dihadapinya.
Ketiga, air bila digunakan sewajarnya itu bermanfaat untuk tumbuhan, akan tetapi bila air yang digunakan berlebihan untuk menyirami tumbuhan, maka tumbuhan itu pasti akan rusak. Begitupun pemilik duniawi, bila ia memanfaatkan dunianya untuk kepentingan dan kemasalahatan orang banyak, dan menggunakan untuk dirinya hanya secukupnya, maka ia akan selamat.
Imam Al-Qurtubi kemudian mengutip hadis mengenai anjuran untuk tidak berlebihan mengejar dunia. “Wahai Rasul, aku ingin menjadi orang bahagia, bagaimana caranya?” tanya salah seorang sahabat Nabi. “Tinggalkan dunia. Ambillah dunia hanya secukupnya saja, bagaikan air yang menggenang. Sedikit dunia itu pasti mencukupi, sementara dunia yang berlebihan itu akan membuatmu melewati batas,” selanjutnya Nabi bersabda :
قَدْ أَفْلَحَ مَنْ أَسْلَمَ, ورُزِقَ كَفَافًا, وَقَنَّعَهُ اللَّهُ بِمَا آتَاهُ
“Berbahagialah orang yang beragama Islam, diberi rezeki cukup, dan qanaah atas pemberian Allah” (HR Muslim).
Harta sebenarnya diciptakan oleh Allah untuk membantu manusia dalam menghadapi hidupnya, menambah keindahan dunia yang fana dan menjadi fitrah manusia bahwa ia akan selalu mencintai harta sampai ajal tiba.
Islam tidak menentang sesuatu yang menjadi fitrah manusia, melainkan memperbaiki fitrah tersebut, mengontrol dan mengarahkannya agar diletakkan pada posisi yang semestinya. Kecintaan kepada harta misalnya, bisa menjadi baik jika kita menempatkan harta pada posisi yang benar, yaitu sebagai alat utuk mencukupi kebutuhan nafkah, untuk menopang kegiatan keagamaan dan lain sebagainya. Sebaliknya kecintaan kepada harta bisa menjadi buruk ketika kita memposisikan pada hal yang salah, yaitu sebagai alat menyombongkan diri, bermegah-megahan dan lain sebagainya.
Islam memandang kecintaan manusia terhadap kesenangan secara zat tidaklah tecela. Islam juga tidak menginginkan pemeluknya enggan dengan kesenangan tersebut, namun Islam hanya ingin agar pemeluknya tidak berlebihan mencari kesenangan tersebut, mencari dengan cara yang disyariatkan, mentasarufkan nya untuk kepentingan yang disyariatkan, senantiasa bersyukur dan tidak menjadikan kesenangan tersebut sebagai tujuan akhir kehidupan. Wallahu a’lam.[]