dr. Cipto Mangunkusumo: Dokter sekaligus Jurnalis

Foto: Penulis 


Oleh M Nailurridho | Mahasiswa STAI Al Fatah Cileungsi 


CIPTO Mangunkusumo lahir di Pecangaan, Kabupaten Jepara, Jawa Tengah, pada tanggal 4 Maret 1886. Seperti dikutip dari berbagai sumber, ia adalah putra tertua dari Mangunkusumo, seorang priayi yang merakyat di tanah Jawa.


Dari sekian banyak tokoh bangsa, dr. Cipto Mangunkusumo merupakan salah satu sosok penting dalam perjuangan bangsa Indonesia menuju kemerdekaan.

Di masa mudanya, Cipto Mangunkusumo menghabiskan sebagian besar waktunya untuk belajar ilmu kedokteran dengan gigih. Beliau ingin ilmunya bermanfaat untuk membantu sesama.

Karena sering membantu masyarakat, dr. Cipto Mangunkusumo dikenal sebagai “Dokter Rakyat”. Bahkan, dr. Cipto Mangunkusumo berperan penting dalam penanganan wabah pes di kota Malang pada 1910 - 1911.

Selain mendalami ilmu kedokteran, dr. Cipto Mangunkusumo juga kritis dalam memperjuangkan bangsa Indonesia agar bebas dari kungkungan penjajah.

PEJUANG KEMERDEKAAN

Beliau melakukan perlawanan melawan penjajah dengan membuat tulisan yang diterbitkan di koran.

Tidak hanya itu, dr. Cipto Mangunkusumo bergabung dengan sebuah organisasi pemuda Budi Utomo, pada 1908. Organisasi Budi Utomo merupakan salah satu titik awal perjuangan melawan penjajah.

Di organisasi Budi Utomo, dr. Cipto Mangunkusumo bertemu sosok-sosok pemuda yang ingin memperbaiki nasib bangsa melalui pendidikan yaitu Douwes Dekker (Danudirjo Setiabudhi) dan Ki Hajar Dewantara, yang kemudian dikenal sebagai 3 serangkai.

Di sekolah kedokteran untuk pribumi itu, Cipto sudah terlihat berbeda dari murid lain karena dia lebih suka membaca buku atau ke ceramah ketimbang bersenang-senang.

Dia pernah mengkritik peraturan di sekolah yang mengharuskan mahasiswa yang bukan Kristen untuk memakai pakaian tradisional ke sekolah kecuali mereka berasal dari keluarga yang bekerja di pemerintahan.

KARYA TULIS DR CIPTO MANGUNKUSUMO


Di harian De Locomotief pada tahun 1907, ia menulis tentang kritikan-kritikan terhadap pemerintahan kolonial. Ia sering mengkritik hubungan feodal maupun kolonial yang dianggapnya sebagai sumber penderitaan rakyat.

Kemudian Cipto menerbitkan tulisan Suwardi yang berjudul “Andai Saya Seorang Belanda” di surat kabar De Express di Kota Bandung pada tahun 19 Juli 1913. Tulisan itu berisi tentang kritikan kepada Pemerintah Belanda yang merayakan 100 tahun kemerdekaan mereka atas Perancis, namun dengan cara menggalang dana di Hindia Belanda.

Akibat tulisannya itu pada tanggal 18 Agustus 1913 beliau di Asingkan ke Belanda dan di Belanda beliau bergabung dengan Indische Vereeniging yaitu Perkumpulan Sosial Mahasiswa Indonesia di Belanda.

Pada tahun 1916 beliau mendirikan surat kabar bernama Hindia Poetra. Surat kabar ini yang nantinya memberikan pemahaman kepada rakyat Belanda akan pentingnya Politik Etis.

Setelah beberapa kali melakukan pengasingan, dr. Cipto Mangunkusumo mengidap penyakit asma. Karena penyakitnya makin parah, pada 1942 Cipto dipindahkan oleh Jepang ke Jatinegara dan dirawat di Rumah Sakit “Yang Tseng Ie”, Jakarta.

Namun nyawa dr. Cipto tidak bisa diselamatkan. Kondisinya terus memburuk hingga pada 8 Maret 1943 ia menghembuskan napas terakhirnya di Jakarta.

Cipto mendapat gelar Pahlawan Kemerdekaan Nasional setelah diterbitkannya Surat Keputusan Presiden RI No. 109 tahun 1964 tanggal 2 Mei 1964. Serta diabadikan nama Rumah sakit Umum pusat nasional dr.Cipto Mangunkusumo di Jakarta pusat, DKI Jakarta, Indonesia.[]
Lebih baru Lebih lama