Korban Pelecehan Seksual Tidak Sepenuhnya Sembuh

 


Oleh Arina Islami | Mahasiswi STAI Al Fatah Cileungsi Bogor 


BARU-BARU ini terdapat beberapa kasus pelecehan seksual yang naik ke permukaan media. Ada 2 kasus yang rasanya sayang kalau tidak kita bahas. Pertama kasus Syaiful Jamil (SJ) yang disambut layaknya pahlawan, kedua kasus Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) yang belum memberikan keadilan untuk korban berinisial MS.

Untuk kasus pertama, saya yakin semua orang waras tidak akan membela SJ. Tindakan glorifikasi untuk pelaku pelecehan seksual sangat menyakiti hati korban. Memboikot SJ dari media televisi adalah keputusan yang tepat.

Namun pertanyaannya sampai kapan ia diboikot? Sampai korban memaafkan pelaku. Jika korban tidak memaafkan sampai seumur hidup, itu hak korban. Berarti SJ dilarang tampil di TV selamanya. Sangsi pidana dan sangsi sosial memang ada, tapi tidak akan cukup menghukum pelaku jika korban masih dicederai psikisnya, maka masalah memaafkan adalah sepenuhnya hak korban.

Kedua, pelecehan seksual yang terjadi di KPI, benar-benar mengejutkan masyarakat Indonesia. Siapa yang akan menyangka tindakan keji ini bisa terjadi di dalam lembaga yang biasanya menyensor acara televisi yang dianggap tidak layak tayang.

Sepertinya pikiran orang-orang di lembaga ini terlalu kotor sehingga pentil sapi dan bikini Shizuka harus ditutupi. Kalau begitu, pantas saja terjadi pelecehan seksual antar pegawainya. Nah sama binatang dan tokoh 2D aja bisa 'traveling' apalagi sama manusia kan.

Kasus ini terjadi selama 9 tahun dan baru ditindaklanjuti setelah viral. Kelambanan KPI dalam menangani kasus ini membuat masyarakat Indonesia geram, ditambah lagi beredarnya kabar bahwa KPI ingin pelaku dan korban berdamai. Bayangkan, betawa lawaknya pejabat negeri ini. Mempertemukan korban dengan pelaku saja sudah menambah penderitaan korban, apalagi berdamai.

Dalam kasus pelecehan seksual ataupun pemerkosaan, pelaku sering membela diri dengan mengatakan, "Korban tidak lari dan tidak berteriak ataupun menghindar, berarti dia menikmati". Pihak keluarga, teman, bahkan polisi pun tidak jarang melontarkan pertanyaan "Kenapa kamu tidak lari saat dilecehkan?"

Dua kalimat di atas menunjukkan minimnya pengetahuan seseorang yang berucap demikian.

Korban pelecehan seksual tidak melawan atau menghindar bukan karena ia menikmati, tapi pada saat itu ia sedang mengalami Tonic Immobility.

Tonic Immobility ialah reaksi refleksif tak disengaja yang dipicu oleh persepsi bahaya yang tak terhindarkan, yang ditandai oleh hambatan gerakan motorik yang dalam dan relatif tidak responsif.

Tonic Immobility yang merupakan reaksi alami setiap manusia ini, mengaktifkan hormon dopamine di kepala yang membuat korban 'membeku' dan tidak berkutik saat dilecehkan.

Contoh lain, ketika seseorang dibully, bukan berarti dia tidak memiliki kemampuan untuk melawan, tapi tindakan bullying itu mengaktifkan hormon dopamine yang membuat dia diam saja. Apakah itu tandanya dia menikmati pembullyan? Tentu tidak. Ini reaksi alamiah tubuh manusia.

Maka berhenti menyalahkan korban. Tidak ada satupun manusia di bumi ini yang menikmati ketika dilecehkan. Isi kepalamu dengan pengetahuan agar otakmu tidak mudah menghakimi orang lain.

Sungguh, korban pelecehan seksual tidak pernah benar-benar sembuh, mereka hanya mencoba berdamai dengan keadaan, tapi ingatannya merawat dengan baik kejadian itu.[]

Lebih baru Lebih lama