Amilin Zakat



Oleh Deni Rahman | Ketua Program Studi Komunikasi Dan Penyiaran Islam STAI Al-Fatah Cileungsi, Bogor

Pasal 1 angka 2 Undang-Undang No 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat mengatur bahwa pengelolaan zakat dilakukan oleh Badan Amil Zakat Nasional dan Lembaga Amil Zakat. 

Pengaturan pendirian lembaga pengelolaan zakat memang penting mengingat potensi zakat di Indonesia yang masyoritas penduduknya beragama Islam tentulah besar. 

Lembaga pengelola zakat ini dalam undang-undang disebutkan dengan istilah Badan Amil Zakat dan Lembaga Amil Zakat (Purbasari, 2015:74).

Meskipun harus diakui bahwa dalam peraturan-peraturan tersebut masih banyak kekurangan yang sangat mendasar, misalnya tidak dijatuhkannya sanksi bagi muzakki yang melalaikan kewajibaannya (tidak mau berzakat), tetapi undang-undang tersebut mendorong upaya pembentukan lembaga pengelola zakat yang amanah, kuat dan dipercaya oleh masyarakat (Hafidhuddin, 2004:126).

Amil zakat memiliki peran yang sangat penting, baik dalam pengumpulan dan pendistribusian zakat maupun dalam usaha melakukan kegiatan pemberdayaan ekonomi masyarakat untuk tercapainya masyarakat madani yang dicita-citakan.

Karena itu Yusuf Al-Qaradhawi mengemukakan beberapa persyaratan yang harus dimiliki oleh amil zakat, yakni sebagai berikut : 

Beragama Islam, karena zakat terutama berkaitan erat dengan kepentingan dan urusan kaum Muslimin. 

Dewasa dalam berfikir dan bertindak (mukallaf), sehingga patut diserahi tugas yang berkaitan dengan kepentingan umat. 

Memiliki sifat jujur dan bertangung jawab. Tugas keamilan sangat menghajatkan sifat jujur karena berkaitan dengan harta amanah dari muzakki, mushaddiq ataunpun munfiq untuk diserahkan kepada mereka yang berhak menerimanya. 

Kemampuan untuk melaksanakan tugas. Adapun sisi tugas amil zakat pada dasarnya terbagi dua, yaitu  pengumpulan dan penyaluran (Hafidhudin, 2008:129).

Amil zakat sebagai salah satu dari delapan asnaf merupakan alat legitimasi Allah SWT. yang diberi kewenangan dalam pengelolaan zakat. Meski demikian ternyata belum direspon dengan baik oleh umat Islam, demikian pula kalau dikaitkan dengan surat At-Taubah ayat 103.

Dalam ayat ini ada kata “khudz” yang berarti ambillah. Menurut Ibnu Arabi, khitab lafadz khudz itu adalah ditujukan kepada Nabi Muhammad Saw, sehingga difahami zakat tidak bisa diambil oleh selain beliau, atas dasar inilah para pembangkang zakat tidak mau mengeluarkan zakat lagi pada masa Khalifah Abu Bakar. 

Ada perbedaan pendapat apakah ayat di atas maksudnya zakat wajib atau sunnah, adanya perintah untuk mengambil yang dilakukan Rosulullah atau penggantinya (ulama/amil), secara implisit menekankan agar zakat itu dikelola oleh sebuah pengurus/lembaga yang mengurus zakat (Araby, Beirut : 1006).


Lebih baru Lebih lama