Istidraj Itu adalah Permulaan Kehancuran


Secara bahasa Istidraj diambil dari kata da-ra-ja (Arab: درج ) yang artinya naik dari satu tingkatan ke tingkatan selanjutnya. Sementara istidraj dari Allah kepada hamba dipahami sebagai ‘hukuman’ yang diberikan sedikit demi sedikit dan tidak diberikan langsung. Allah biarkan orang ini dan tidak disegerakan azabnya. Allah berfirman yang artinya, “Nanti Kami akan menghukum mereka dengan berangsur-angsur (ke arah kebinasaan) dari arah yang tidak mereka ketahui.” (Qs. Al-Qalam: 44) (Al-Mu’jam Al-Lughah Al-Arabiyah, kata: da-ra-ja).

 

Dari Ubah bin Amir ra, Nabi SAW bersabda, “Apabila engkau melihat Allah memberikan kenikmatan dunia kepada seorang hamba, sementara dia masih bergelimang dengan maksiat, maka itu hakikatnya adalah istidraj dari Allah.” Kemudian Nabi SAW membaca firman Allah yang artinya, “Tatkala mereka melupakan peringatan yang telah diberikan kepada mereka, Kami pun membukakan semua pintu kesenangan untuk mereka; sehingga bila mereka bergembira dengan apa yang telah diberikan kepada mereka, Kami siksa mereka dengan sekonyong-konyong, maka ketika itu mereka terdiam berputus asa.” (Qs. Al-An’am: 44), (HR. Ahmad, no. 17349, disahihkan Al-Albani dalam As-Shahihah, no. 414).

 

Sederhananya, jika melihat orang yang secara agama ibadahnya buruk, sementara maksiat kepada Allah dan manusia jalan terus, lalu rezekinya Allah berikan melimpah, kesenangan hidup begitu mudah ia dapatkan, tidak pernah sakit dan celaka, panjang umur, bahkan Allah berikan kekuatan pada fisiknya. Maka, waspadalah sebab bisa jadi itu adalah istidraj baginya dan bukan kemuliaan.

 

Diantara tanda hamba yang mengalami istidraj itu antara lain; pertama, terus melakukan kemaksiatan tapi kesuksesan justru semakin melimpah. Ali Bin Abi Thalib ra berkata, “Hai anak Adam ingat dan waspadalah bila kau lihat Tuhanmu terus menerus melimpahkan nikmat atas dirimu sementara engkau terus-menerus melakukan maksiat kepadaNya.” (Mutiara Nahjul Balaghoh Hal 121)

 

Kedua, semakin kikir justru hartanya semakin melimpah. Kecelakaanlah bagi setiap pengumpat lagi pencela yang mengumpulkan harta dan menghitung-hitung (harta) lalu dia mengira bahwa hartanya itu dapat mengkekalkannya (Qs. Al-Humazah : 1-3). Ayat ini berkisah tentang hamba yang kikir dan menghitung-hitung hartanya. Ia mengira harta yang ditumpuknya akan mengokohkan posisi dan kekuasaannya.

 

Ketiga, jarang sakit. Imam Syafi’i berkata, “Setiap orang pasti pernah mengalami sakit suatu ketika dalam hidupnya, jika engkau tidak pernah sakit, lihatlah ke belakang mungkin ada yang salah dengan dirimu.” Bisa jadi ia tidak pernah sakit karena berbuat syirik memuja dan bersekutu dengan jin atau setan. Kalaupun bukan karena itu, jelas ada sesuatu yang menyimpang dalam dirinya. (Tafsir Al Muyassar, 1/464)

 

Ibnu Athaillah berkata, “Hendaklah engkau takut jika selalu mendapat karunia Allah, sementara engkau tetap dalam perbuatan maksiat kepada-Nya, jangan sampai karunia itu semata-mata istidraj oleh Allah.” Wallahua’lam.(BA)

Lebih baru Lebih lama