Perempuan atau Betina

 


Oleh Arina Islami | Mahasiswi STAI Al-Fatah Cileungsi, Bogor 


AKHIR-AKHIR ini, kita sering mendengar penyebutan kata "betina" untuk perempuan. Setuju atau tidak atas sapaan itu, mari kita lihat terlebih dahulu.


Dalam sebuah jurnal lama yang diterbitkan oleh Universitas 17 Agustus 1945 pada tahun 1997 berjudul “Betina, Wanita, Perempuan: Telaah Semantik Leksikal, Semantik Historis, Pragmatik” dicontohkan dua ungkapan yang menggunakan kalimat: (1) Kamu ini kok cerewet banget sih. Urus saja diri sendiri. Ngapain tanya urusan orang segala. Dasar betina! (2) Winda benar-benar betina, yang nafsunya terlampau besar, hingga tak pernah puas hanya dengan satu lelaki suaminya itu.


Dari dua kalimat di atas, kita melihat bahwa orang menggunakan kata "betina" untuk menunjukkan ketidaksukaan mereka pada perempuan yang cerewet dan bernafsu besar, atau hal lain yang dianggap tidak pantas ada pada diri seorang perempuan. Lah, memangnya kenapa kalau perempuan memiliki sifat cerewet dan bernafsu besar?


Dapat disimpulkan bahwa orang yang menggunakan kata "betina" merasa dirinya terusik atas sikap yang tidak ia sukai dari seorang perempuan. Biasanya, orang yang menggunakan kata “betina” untuk merujuk perempuan adalah lelaki misoginis (KBBI : mi.so.gi.nis ; n orang yang membenci perempuan) yang tidak suka dengan eksistensi perempuan mengekspresikan diri apa adanya.


Lelaki misoginis seperti itu berupaya mengontrol perempuan. Ketika mereka gagal, mereka memanggil perempuan dengan sebutan “betina”. Padahal kata “jantan” memiliki konotasi positif, sementara kata “betina” dikaitkan dengan konotasi negatif dari dua kalimat tadi. Standar ganda, bukan?


Pada kenyataannya, perempuan yang bersuara dan melawan akan mendapatkan sederetan panggilan dan dianggap sebagai "betina" dalam pandangan mereka.

 

Puan, kita bukan betina, yang hanya tahu makan, kawin lalu mati. Perempuan jauh lebih dari itu. [] 

Lebih baru Lebih lama